Because I do love you....
✎__Dokyeom as Arthur, The Hidden Prince - Pt.21
•••
“Arthur...?”
Hanya dengan menyebut namanya dalam lirih, hatiku bergetar kuat dan aku semakin tidak terselamatkan.
Mimpi yang selalu membuatku sesak menahan rindu di tiap malam, kini terkabulkan dengan cara tak terduga. Aku tidak siap untuk bereaksi akan kehadirannya yang begitu tiba-tiba.
Begitu nyata. Sehingga aku kehilangan cara untuk bernapas selama meyakinkan diri bahwa pria yang berdiri beberapa langkah dariku itu memanglah dia.
“You little wayward.”
Kalimat pertama yang menggema sebagai sapaan. Sebutan yang tak kusangka akan membuatku berdebar karena rindu mendengarnya. Mendengar suara beratnya yang tenang namun bagai menyimpan beribu arti di tiap kata yang ia ucapkan.
“You always frustrate me even by just expecting your answer.”
Begitu banyak hal yang ingin sekali kukatakan, tetapi aku hanya terdiam kelu atas tatapannya yang menajam sekaligus lembut kepadaku. Obsidian gelapnya yang redup itu seakan turut berbicara, turut menyalurkan isi hatinya....
“Do you hate me that much that you don’t even want to answer my longing for you?”
Aku tidak mampu menjawabnya.
Pikiranku terlalu kosong selain seruan bagiku untuk kembali menghindar. Berdengung di kepalaku yang lekas menggerakkanku untuk berbalik badan.
“You are not allowed to run away again, Bella.”
Aku berhenti, hanya untuk menahan napasku mendengar suara beratnya mengalun penuh keseriusan. Penuh teguran. Namun aku kembali menguatkan tekad untuk melanjutkan langkahku tanpa berniat berbalik kepadanya.
“I command you to stop right there.”
Seketika, kaki-kakiku seakan patuh pada titahan tegas itu. Kali ini aku tercekat akan kecemasan yang melejit hanya mendengar ketukan langkah pasti yang mendekati punggungku. Memberi peringatan agar aku tidak sedikitpun bergerak lagi.
“A-Anda tidak seharusnya berada di sini....”
Aku berhasil bersuara, dibersamai debar jantungku yang mulai mengencang dentamannya lantaran merasakan keberadaannya yang mungkin hanya beberapa langkah di belakangku.
“Did I scare you that much? Or did my royal name make you unwilling to look at me until you chose to run away again?”
Aku tidak sanggup menjawabnya. Mataku memejam menahan perih yang terlalu cepat merebak. Aku berusaha menarik napas yang tak disangka akan menunjang perih di dada, sebab aku berusaha mengatakan, “Bukankah saya sudah mengatakan bahwa saya ingin berpisah dari Anda?”
“Dan kau berpikir aku akan mengabulkannya?”
“Ya...,” getar suaraku terlalu jelas menunjukkan ketidakyakinan. “Saya menantikan jawaban Anda, tetapi Anda tidak kunjung mengirimnya pada saya.”
“Bukankah sudah jelas kalau itu adalah jawabanku? Atau haruskah kuperjelas padamu sekarang bahwa aku tidak ingin berpisah darimu?”
Lagi, aku tercekat atas tanggapan lugasnya. Seperti tidak memberi ruang bagiku untuk membantahnya di saat aku merasa tidak lagi berhak untuk menerima jawabannya. Setelah apa yang sudah aku lewati bersama kenyataan pahit yang membuatku bahkan tak sanggup membayangkan kakiku akan kembali memijak dunianya.
“Saya sudah tidak pantas untuk kembali ke tempat Anda, Arthur.”
“Kalau begitu apakah aku harus keluar dari sana supaya kau tidak lagi berpikir demikian?”
“Arthur, Anda juga tahu bahwa keluarga saya sudah—”
“Jika kau masih menggunakan itu sebagai alasan, Bella,” dia memotongku dengan cepat, “Aku juga akan mengutuk keluargaku karena sudah membuatku berada di sini. Aku akan mengutuk mereka semua karena sudah membuatku harus kehilanganmu hanya karena menyalahkanmu di saat seharusnya mereka yang paling disalahkan di sini.”
Aku menahan napasku mendengar ucapannya yang memberat. Adanya kecewa teramat kental di tiap lontaran kalimatnya sehingga aku merasa tak patut membantahnya.
“Aku hadir karena kesalahan mereka, Bella. Aku bahkan jauh tidak pantas berada di sini jika kau ingin mengukur sejauh apa dosa yang sudah mereka lakukan. Jadi bukankah seharusnya aku yang dibuang di sini? Bukankah seharusnya aku yang kau salahkan karena sudah membuatmu menderita seperti ini?”
Seketika, aku berbalik untuk mendapatinya yang berdiri hanya sejauh tiga langkah dariku. Mendapati sorot matanya yang sertamerta menangkap milikku dengan sorot terluka.
Terlalu menyakitkan untuk turut menyayatku teramat dalam.
“Ini bukan soal Anda. Ini soal saya yang sudah membuat keluarga Anda—”
“Of course it's about you and me. It's about us who have to bear the sins they don't want to admit so you have to leave me like this. Don't you think how cruel they are to make us suffer all this then make you leave when I’ve wanted you? When I’ve needed you this damn much until it’s like killing me slowly, Bella?”
Mulutku terbuka kelu mendengar gemetar suaranya yang sedikit meninggi, penuh emosional sehingga berhasil menohokku. Hatiku bagai tercabik melihatnya menatapku dengan sorot berkaca-kaca, menahan sakit yang baru kusadari bahwa sesungguhnya, dia pun turut hancur di sini.
Dia pun turut terpuruk oleh keadaan. Tetapi aku terlalu tenggelam dalam rasa sakitku tanpa lagi peduli bahwa sesungguhnya dia juga telah jatuh seperti aku....
“I need you, Bella. I need you to keep breathing amidst all the pressure that comes to me. But you chose to leave because all of this is also my fault. What can I do to get you back, then? What can I do to let you know that I’m getting more suffering because you chose to leave me?”
Kali ini aku menggigit kuat bibirku yang nyaris mencuatkan isakan. Aku tidak kuasa bertahan di tengah tatapannya yang mulai menunjukkan keputusasaan. Menunjukkan derita yang aku sendiri tahu betapa menyiksanya itu.
Karena sesungguhnya, kami harus sama-sama berpijak di atas tanah yang siap menggugurkan kami ke dalam jurang mati rasa bersamaan.
“Maafkan saya....”
“Then don’t leave me. Don’t run away from me and come back to me. Even though I have to give up my throne, my titles, my everything, I will throw them away as long as you come back to me.”
Aku menggeleng pelan. Tidak siap dengan desakannya yang terlalu berlumurkan permohonan. Membuatku tidak sanggup melakukan pilihan untuk menolaknya.
“Saya tidak bisa membuat Anda harus merelakan semua itu hanya untuk saya, Arthur.”
“Do you love me, Bella?”
Pertanyaan tiba-tiba yang membuat tenggorokanku semakin perih. Sebagaimana dengan mataku yang kian merebak menyakitkan terlebih dia kembali mengajukan pertanyaan sama.
“Do you love me? Or have you ever loved me?”
“Arthur, saya mohon—”
“Because I do love you.”
Untuk sesaat, segalanya di sekitarku bagai berhenti.
“I love you, Bella.”
Sesaat, aku merasakan jantungku tak berdetak sebagaimana dengan diriku lupa untuk bernapas mendengar pengakuannya yang kupikir itu hanya akan selamanya menjadi anganku.
“I love you. So much. So damn much until it hurts me since I can’t hold you. I love you even since I tried to not love you. I have loved you since I tried to hate this marriage but I can’t help it because everything about you makes me fall this crazy. I desperately want you.”
Entah sejak kapan air mataku sudah mengalir jatuh. Menyaksikan bagaimana dia mengungkapkan segalanya tanpa jeda dan penuh frustasi hingga serak suaranya berhiaskan getar merana.
Betapa dia sungguh-sungguh mengutarakan untuk bersikeras menghancurkan pendirianku, sehingga aku melebur dalam tangis yang tak lagi dapat kubendung.
“So tell me if you love me too. Tell me I'm not the only one who’s in love here. Tell me if I still can hold you. If you don’t—” Aku bisa mendengar cekat suaranya kala menjeda. Aku bisa melihatnya memejam kuat untuk rela mengatakannya, “If you don’t love me, I promise to leave from here and I will not look for you again.”
Bahwa mungkin kami juga sama-sama tahu, bahwa itu bukanlah pilihan yang ingin diwujudkan.
Bahwa tidak ada satupun dari kami yang menginginkan pilihan terburuk itu sungguh-sungguh terjadi.
Oleh karenanya, aku benar-benar runtuh dalam tangis menyerah, tertunduk bersama isakan yang tak lagi terbendung lantaran akupun tak rela ini berakhir dengan cara setragis ini.
“I do....”
Aku memutuskan menyerah untuk bertahan dengan keteguhanku.
“I do love you, too, Arthur....”
Menyerah untuk melarikan diri dari kenyataan bahwa akupun membutuhkannya. Menginginkannya tetap bersamaku dan terus menggenggamku.
“I love you..., maybe from the first time I saw you in your garden. Or maybe from the first time you kissed me. I've fallen in love with you and I can't hold back this feeling anymore since I've been immersed in this marriage.”
Pandanganku mengabur oleh air mataku yang tumpah teramat deras. Oleh rasa yang mati-matian kupendam namun kini kucurahkan bersama sesak teramat pedih di dada.
“I do love you and it hurts me, a lot, Arthur.... I love you so much it hurts, and I—”
Aku tak dapat menyelesaikan pengakuanku.
Semuanya terjadi begitu cepat, dia mendekat dalam langkah lebar, lebih cepat dari kedipan mataku, merangkum wajahku untuk kemudian satu kecupan hadir tepat di bibirku yang bergetar hebat, membungkam isakanku melalui ciuman dalam yang seketika menghanyutkanku pada terjangan emosi membuncah.
Pada akhirnya, aku patut mengakui bahwa aku tidak dapat lari darinya. Katakan bahwa aku memanglah lemah. Sebab hanya dengan satu kecupan darinya, hatiku luluh lantak dengan membalas tiap gerak sapuannya yang merindu.
“I love you...,” dia berbisik tepat di bibirku, “Sincerely,” mengucapkannya lagi untuk kemudian mengecup sudut bibirku, “And deeply,” lalu kembali menciumku, sembari ibu jarinya mengusapi air mataku yang tiada henti mengalir. “I love you like I need to breathe, Bella....”
Aku bahkan tidak sanggup untuk menghitungnya. Seakan sudah begitu lama dia ingin mengatakannya, sehingga kini dia menghujaniku dengan tiga kata magis yang membuatku tak lagi meragu untuk memeluknya, membalasnya.
“I need you, Bella. I want—and I will make everything right for us. I want to keep you with me so please don't leave me again. I can’t lose you. I can’t lose both of you. I want you, I want us so please....”
Aku tidak ingin mendengarnya memohon terlalu jauh. Tidak ingin menyiksa dirinya maupun diriku lebih banyak lagi. Sehingga kini giliranku yang mengecupnya, beberapa kali, di mana aku merasakan balasannya yang tak kalah mendamba, tak kalah merindu.
Di mana itu berhasil membawa angin segar di benakku. Layaknya gelombang oase yang menerjangku begitu besar sehingga aku ingin seterusnya terhanyut oleh kelegaan ini.
“I know....” ucapku seraya menyatukan kening kami. “I want you and I want us as well, Arthur. I love you....”
Ingin sekali diriku mendekapnya seerat yang kubisa. Menghirup seluruh dirinya yang ternyata masihlah sama seperti yang kuingat. Mengabadikan raup napasnya di sisi kepalaku yang teramat jelas mengatakan betapa dia membutuhkanku.
Namun aku terpaksa menarik diri dengan rintihan pelan. Merasakan nyeri tiba-tiba hadir melingkupi hingga spontan aku memegangi perutku. Di mana tidak kukira akan mendapatkan reaksi cepat darinya berupa rangkulan kuat di bahuku dan ikut menangkup perutku.
“What’s wrong? Are you hurt?”
Aku perlu mengatur napasku, berusaha tetap tenang membiarkan keram yang muncul berlangsung sebagaimana yang telah aku alami semenjang ia tumbuh.
“Cheesecake,” ujarku sembari mencari sorot matanya. “The baby ate too much strawberry cheesecake earlier.”
Tanpa kuduga, dia melontarkan kekeh kecil sembari mengeratkan dekapannya padaku. Memberi kecupan penuh kasih di dahiku, sebelum bibirnya berlabuh di pelipisku sembari berbisik, “Cheesecake,” dan mulai mengelusi perutku. “We should prepare a lot for our cheesecake.”
“Perlu Anda tahu bahwa dia sudah sebesar sweet potato.”
“We’ll still call it cheesecake.”
Menjadi giliranku yang terkekeh bersama sisa-sisa tangisku. Kini aku tidak lagi mengelak, tidak lagi mendorongnya menjauh. Sebab aku tidak ingin membohongi diri terlalu lama.
Aku sangat mencintainya.
“Sebentar lagi saya akan mengetahui jenis kelaminnya.”
Dan aku tidak akan melepaskannya lagi.
“We have to see it together.”
Kali ini..., aku sungguh berjanji.
“Together....”
—:)