Choi Coups, the bad-tempered

from

My Neighbor is Acting Weird

•••

“Sialan!”

Bukan tanpa alasan umpatan itu terlontar dari mulut Choi Coups. Setelah sebelumnya dia berpikir bahwa peperangan antara dirinya dengan si pengasuh bayi delapan tahun semalam berakhir, ternyata perempuan itu masih tidak membiarkannya keluar dari tempat ini.

Lima puluh juta won sialan!

Ajumma jelek! Berani-beraninya dia mengurungku seperti ini! Aku benar-benar akan menghajarnya jika bertemu nanti!”

“Jangan coba-coba.”

Cebikan menyusul rotasi mata menjadi reaksinya kala mendengar sahutan tiba-tiba itu.

“Karena dia perempuan cantik yang sekarang menjadi incaranmu, eh? Dasar pria tua genit!”

Kekehan di dalam kepalanya menjadi respons yang dilanjutkan dengan tuturan, “Aku lebih khawatir padamu yang mungkin akan mendapat tendangan sungguhan di kepala. Bukan hanya kau yang akan menanggung sakitnya, Coups.”

“Kau hanya terlalu peduli pada bocah cengeng itu.”

“Memang sudah sepatutnya kita peduli, bukan?”

Aish!

Menendang udara, Choi Coups pun kembali ke ruang tengah lalu menjatuhkan diri di sofa. Sunyi di apartemen ini membuat embusan napas kasarnya terdengar amat jelas. Maniknya yang dirundung kekesalan itu mendapati jam dinding menunjukkan pukul sepuluh pagi.

Sial sekali dia terbangun lebih lambat sehingga perempuan itu semakin leluasa menyanderanya!

“Kau begitu gelisah,” komentar di kepalanya membuatnya semakin termakan oleh kegusarannya sendiri.

“Seseorang mengirim sesuatu ke unit sebelah semalam. Kau tidak tahu?”

“Well, semuanya tertidur semalam. Hanya kau yang tiba-tiba bangun untuk melarikan diri.”

“Choi Seungcheol terlalu lama tertidur sampai dia tidak tahu bahwa Kim Mingyu sudah kembali.”

“What do you mean?”

Choi Coups tidak lagi bersuara. Ingatannya berkelana mundur pada momen semalam di mana dia sempat bertikai dengan Park Chaerin sebelum memergoki seseorang datang bertamu di unit Choi Seungcheol.

Bukan tanpa alasan pula dia berani keluar di saat Park Chaerin berusaha menahannya. Sebab ketika melihat sosok itu langsung melarikan diri, Choi Coups berpikir dirinya akan menyesal bila tidak mengejar.

“Berengsek, kau!!”

Dia berhasil menangkapnya tepat sebelum orang itu membuka pintu tangga darurat lantai dasar, mencekal jaket hitam yang dikenakan tetapi empunya berkelit cepat. Membuatnya sontak mengerahkan ilmu beladiri melumpuhkan serangan yang sebenarnya tidak seberapa dan dia berhasil merenggut masker yang menutupi wajahnya.

Sertamerta keterkejutan menerjang. Mengenali wajah pria yang lekas mendorongnya ke dinding memanfaatkan kelengahannya sementara dia tidak lagi melawan.

“Kim Mingyu?”

“Long time no see, Coups.” Mingyu di sela napas tersengalnya mencoba tersenyum. “Aku harap kau melepaskanku sekarang karena seseorang akan melihat.”

Namun Choi Coups mencengkeram tangan pria itu demi bertanya, “Kalau begitu sedang apa kau di sini?”

“Mengirim sesuatu. Beri tahu Seungcheol bahwa aku sudah kembali. Itu saja.”

“Lalu pacarmu?”

Mingyu tahu itu pertanyaan sarkastis. Maka yang dia lakukan hanyalah menepuk pundak Choi Coups seraya menjawab, “Jaga dia. Aku tidak punya banyak waktu untuk saat ini.”

Barulah Mingyu melepas tahanannya dan secepat kedipan mata keluar dari sini. Menyisakan Choi Coups yang masih mencerna akan apa yang baru saja didapatnya sebelum menyusul keluar dan dia sudah kehilangan jejak.

Desisan berupa umpatan mengiringi tangannya yang berkacak pinggang. Apa-apaan pria itu? Datang hanya untuk membuat keributan dan sekarang dia menyuruhnya untuk melakukan tugas lain?

“Di mana orang itu? Kau kehilangan dia?”

Menyuruhnya menjaga perempuan yang sudah berani memukul kepalanya ini?

Choi Coups menyugar kasar rambutnya. Hanya dengan mengingat kejadian semalam, emosinya bergumul cepat ke kepala. Satu hal yang dia tahu mengenai kembalinya Kim Mingyu adalah pertanda bahwa konflik akan segera dimulai.

Entah apa yang akan dilakukan pria itu bersama Choi Seungcheol. Sesungguhnya dia tidak mau tahu tetapi pertempuran besar yang akan datang sudah pasti membahayakan mereka semua nantinya.

“Aku sungguh membencinya.”

“Tapi kau tidak punya pilihan lain.”

Dia sangat tahu itu.

Dia hidup di tubuh ini, berbagi dengan empat identitas lain yang membuatnya bahkan nyaris tak punya banyak waktu untuk bergerak leluasa. Terlebih lagi dia masih harus mengalah pada si anak delapan tahun yang tanpa kenal waktu dan situasi datang maupun pergi sesuka hati.

Membuatnya lagi dan lagi hanya sebatas menjadi saksi semua tragedi atas ulah orang-orang yang membuat garis hidup mereka serumit ini. Tetapi dia tetap harus bertahan melindungi dirinya juga yang lain.

“Tidakkah menjadi normal itu lebih baik?”

Kekehan khas itu menggema di dalam kepalanya. Dia tahu itu bukanlah ejekan ataupun meremehkan gumamannya.

“But being different is special. That's why we exist. Isn't it?”

Dengusan pelan adalah responsnya. “Persetan. Aku hanya ingin menjadi manusia biasa,” lantas dia memejamkan mata, membiarkan tubuh yang dia rasakan bergetar pelan sebagai reaksi atas dirinya bagai ditarik tenggelam ke dalam gelapnya pikiran. Menyerah untuk tetap terjaga.

Begitu matanya kembali terbuka, sorot mata Choi Coups sudah tergantikan oleh kerjapan polos yang khas. Mengitari sudut demi sudut ruangan sebelum berhenti pada boneka Spongebob yang kemudian diambilnya ke dalam pelukan sembari melangkah kecil-kecil menuju dapur.

“Nuna..., sudah bekerja, pergi...?”