Choi Seungcheol, and his family
from
My Neighbor is Acting Weird
•••
Bunyi tembakan menggaung bersama pecahnya target di udara sebagai pertanda tepat sasaran. Tidak ada reaksi berarti di wajah pria itu, hanya kembali mengisi peluru pada senapan anginnya, lalu membidik ke atas pada target yang sekali lagi diterbangkan untuk ia tembaki.
Tepukan tangan menjadi hadiah. Namun tetap tidak memancing antusiasnya terlebih kemudian mendengar empu yang kini memberikan pujian.
“Kau memang yang terbaik, Kakak.”
Choi Seungjo tidak perlu menoleh untuk menyambut. Tetap melakukan aktivitasnya walau sang tamu kini sudah berdiri di sampingnya.
“Selalu menjadi yang terbaik sampai sepertinya kau sudah bosan mendengar itu.”
“Dan kau masih saja jauh berada di bawahku. Tidakkah kau lelah mendengar aku yang selalu dipuji?” Choi Seungjo mengangkat senapannya lagi. “Pantas saja Ayah mudah bosan padamu. Bersyukurlah karena masih ada aku yang peduli.”
Satu tembakan lagi meluncur. Kali ini ada tarikan samar di sudut bibirnya sebagai bentuk kepuasan atas keberhasilannya lagi; merendahkan adiknya sendiri.
“Aku hargai perhatianmu.”
Kali ini juga, Choi Seungjo melirik adiknya yang tengah mencoba mengambil satu senapan di meja. Sengaja disediakan bukan hanya untuknya, melainkan juga untuk sang adik yang memiliki kesukaan sama.
“Bersembunyi di mana lagi?”
“Apakah itu topik terpenting yang ingin kau bahas, Kak?”
Tembakan dari senapan yang baru disentuh itu menggema. Menyusul dengusan cepat empunya yang sedikit kecewa lantaran meleset dari target.
“Ouch, sepertinya karena sudah terlalu lama tidak bermain, tanganku merasa asing lagi.”
“Kau memang tidak pernah mahir soal ini,” cemooh Choi Seungjo mendapat kekehan renyah dari sang adik. Di mana saat itu juga, dia semakin menyadari sesuatu. “Karena hanya Choi Seungcheol yang tahu caranya memegang senapan dan membidik dengan benar.”
Dia terkekeh lagi. Menyerah dengan meletakkan senapan itu lalu menyembunyikan kedua tangannya di balik saku.
“Aku ketahuan, ya?”
Sejak awal. Sejak kali pertama mendengar nada bicaranya yang terlalu ringan dan penuh percaya diri, Choi Seungjo tahu bahwa pria ini bukanlah Choi Seungcheol.
Karena seperti yang dia tahu, adiknya bahkan tidak akan pernah sudi menapakkan kakinya di sini begitu mudah jika bukan karena bantuan dari dirinya yang lain.
“Seperti biasa, dia terlalu pengecut untuk muncul seorang diri.”
“Sorry for disappointing you, Brother. He's just feel sick of seeing your face again,” Leonard tersenyum kecil di sela kedikan bahunya. “Kalaupun bersedia, dia hanya ingin bertemu dengan kakeknya. Tapi sayang sekali, kau selalu menempel pada beliau seakan takut kalau dia akan merebutnya. Sungguh cucu yang mulia.”
“Aku hanya melindungi kakekku.” Begitu saja Choi Seungjo mengarahkan senapannya pada Leonard. “Dari monster yang bisa saja menghabisi nyawanya, seperti yang pernah kau lakukan.”
“Wow, wow, wow.” Leonard tertawa seakan ujung laras yang seperti siap melubangi wajahnya itu bukan hal genting. “Siapa menghabisi siapa yang kau maksud itu? Sepertinya kau harus berkaca terlebih dulu sebelum terlalu jauh menganggap dirimu yang paling suci di sini.”
Dua jarinya lantas menyentuh laras senapan itu untuk direndahkan ke lehernya.
“Who has made this monster really be a monster that could burn its own house at anytime, Brother?”
Tidak ada lagi suara terucap di mulut Choi Seungjo. Membiarkan Leonard semakin menarik senyuman penuh artinya seraya kembali merendahkan laras senapan itu, kali ini di dada.
“You destroyed him first, a long time ago. And this is the consequences you get. Now you act like you never did anything wrong?” Leonard mengubah simpul di bibirnya menjadi keprihatinan. “Tidak heran bila Choi Seungcheol tidak lagi sudi melihatmu. Jadi tidak seharusnya kau mencarinya. Bukankah itu yang kau mau?”
“Apa-apaan kalian ini?!”
Seruan penuh dogmatis itu berhasil melumpuhkan ketegangan di antara mereka. Choi Seungjo bergegas menurunkan senapannya, merasa dirinya baru saja dijebak oleh Leonard yang lekas menunjukkan senyum penuh santun menyertai bungkukan hormatnya pada Choi Sunggeun yang datang bersama kursi rodanya.
“Kami hanya sedang bergurau. Kak Seungjo memang selalu begitu saat kami bermain kejar-kejaran dulu,” lalu dia menoleh pada Choi Seungjo, “Benar kan, Kakak?”
“Kalian pikir ini permainan anak-anak?” Choi Sunggeun dengan ketegasan yang tak pernah dikikis usia, berhasil membuat siapa saja tidak berani mendebatnya kala suaranya mulai meninggi. “Singkirkan benda-benda itu dari hadapanku. Dan kau, Seungcheol, ikut aku sekarang juga!”
“Baik, Kakek,” kemudian Leonard berikan senyum semringah mengantarkan satu tangannya menepuk pundak si sulung yang semakin kaku. “Nice to mee you again, Brother,” tutupnya sebelum melenggang pergi meninggalkan Choi Seungjo yang tengah menahan diri untuk tidak membalasnya.
Melewati Choi Sunghyun yang hanya menatap dingin sejak kali pertama mendapati kehadirannya. Seperti biasa. Seperti yang sudah Leonard ketahui. Betapa pria itu tidak pernah menganggap Choi Seungcheol sebagai putera kebanggaannya.
Tidak sekalipun.
—