Choi Seungcheol, and Kim Mingyu

from

My Neighbor is Acting Weird

•••

Isak tangis menggema deras di ruangan ini. Menemani keterdiaman Seungcheol yang terus meratapi sosok dalam pigura berpita hitam itu bermenit-menit lamanya.

Mulutnya mengatup keras sebagaimana dengan tangan-tangan mengepal kuat di tiap sisi, betapa dirinya nyaris tak sanggup untuk memberikan penghormatan terakhir untuk Kim Mingyu di sana.

Merupakan kabar mengejutkan di saat dia terbangun, melihat pesan singkat datang dari nomor yang sudah dia hapal di luar kepala membawakan berita atas kematian sahabatnya. Kemelut sertamerta mengisi hampa pikirannya, raganya bagai melayang dan beruntung Seungkwan segera datang menjemput begitu dia membalas pesannya.

Berat dirasa untuk melakukannya. Pun jemarinya bergetar terlalu jelas kala membakar satu dupa sebagai penutup sebelum memberi bungkukan penuh bela sungkawa untuk keluarga Mingyu yang terus dibanjiri kesedihan dari tempat mereka berdiri. Lalu pergi membawa rasa bersalah mendalam atas ketakutannya yang selama ini menghantui kini menjadi nyata.

“Choi Seungjo datang melayat kemarin pagi.”

Suara itu terdengar setelah sunyi mengudara semenjak Seungcheol duduk di bangku penumpang. Butuh waktu bagi Boo Seungkwan pula untuk menyampaikan apa yang dia ketahui.

“Dia memberi semacam kompensasi padaku, Han Inkyung dan Park Chaerin berupa keringanan untuk tidak hadir bekerja. Dia sungguh tahu bahwa kami bertiga adalah yang paling dekat dengan Kim Mingyu.” Seungkwan membasahi bibirnya sesaat seraya meremat roda kemudi. “Firasatku tidak enak. Dia seperti berkata bahwa kita semua akan diawasi.”

Seungcheol memejam beberapa saat, menarik napas dalam-dalam sekaligus memutar otak mencari solusi. Namun mengingat pikirannya sendiri tengah buntu, tidak ada satupun ide yang hadir.

“Apa kita harus tetap berada di rencana awal?” tanya Seungkwan setelah jeda menjalin mereka cukup lama.

“Mingyu sudah memprediksi ini akan terjadi,” jawabnya parau. “Karena itu, kita harus tetap berada di rencana awal. Awasi Han Inkyung, terutama Park Chaerin. Aku akan meminta bantuan Choi Hansol agar membantumu.”

Seungcheol pun mengeluarkan sebuah ponsel pada Seungkwan. “Saat Cheri bertemu dengan Park Chaerin, segera hubungi ponselnya dengan ini. Aku akan menuliskan pesan di sana untuknya. Aku juga sudah menyiapkan sejumlah uang untuk Park Chaerin. Ada catatan nomor rekening ini, pin dan nominal yang harus kau kirimkan setiap bulannya ke rekening Park Chaerin, terhitung pagi ini.”

“Sebentar, kau membiarkanku memegang uangmu untuk Chaerin? Bagaimana mungkin kau percayakan ini padaku?” sergah Seungkwan cepat.

“Karena kau adalah teman dekatnya. Dan kau juga tahu soal aku. Aku tidak bisa percayakan orang lain untuk melakukan tugas ini. Jadi, gunakan ponsel itu untuk mengirim tunjangan ke rekeningnya sekaligus memberi kabar soal Park Chaerin kepadaku.”

Seungkwan tampak meragu juga resah. Ini bukanlah pekerjaan mudah dan dia tahu resikonya. Tapi mengingat temannya meninggal secara tidak adil, Seungkwan tidak mungkin mundur semudah ini.

“Baiklah. Aku akan memegang kepercayaanmu,” jawabnya setelah mengembuskan napas panjang. “Aku akan mengawasi sampai kalian bertemu lagi. Setelah itu beristirahatlah. Malam ini pasti sangat melelahkan.”

Bahkan Seungcheol baru tersadar kurang dari tiga jam yang lalu. Tapi benar yang dikatakan Seungkwan, ini sudah terlalu melelahkan baginya.

Maka begitu sampai di dekat pintu unit 801, Seungcheol meluruhkan diri, duduk di atas dinginnya lantai, memandang kosong dinding koridor ini dengan perasaan tak menentu.

Sekali lagi, dia merasa gagal.

Bukan hanya menyelamatkan namanya, namun juga menyelamatkan nyawa sahabatnya.

Jahat sekali rasanya bila dia mencoba membela diri. Sudah semestinya dia bertindak lebih keras lagi mencegah hal buruk ini terjadi. Namun apa daya....

Dia hanyalah pengecut yang bahkan tidak mampu berdiri untuk dirinya sendiri.

Mengeluarkan ponsel kosongnya, Seungcheol termangu beberapa saat. Kilas balik soal dirinya dan Mingyu yang merencanakan semua ini layaknya kaset kusut mengerikan juga pahit. Mereka sama-sama tahu bahwa melawan artinya mengorbankan nyawa. Namun diam pun adalah opsi paling pecundang yang tertulis di urutan paling akhir rencananya.

“Apapun yang terjadi nanti, jika aku yang gugur terlebih dulu, tolong jangan mundur. Aku sungguh akan menghantuimu jika memilih itu.”

Seungcheol tersenyum getir mengingat peringatan Mingyu. Bila kala itu dia menganggapnya sedikit lucu, kali ini tidak sama sekali.

Walau ini baru dimulai, Mingyu sudah membuka jalan. Karena itu dia tidak boleh berhenti.

Sudah cukup dirinya kehilangan satu orang berharga. Jangan sampai ada lagi....

Selesai menulis pesan di fitur catatan dan menguncinya, ponsel yang hendak ia simpan kembali ke dalam saku itu bergetar panjang. Nomor asing tertera dan Seungcheol yakin ini bukanlah nomor ponsel yang dia berikan pada Seungkwan sebelum ini.

“Halo?”

Tapi mungkin Seungcheol akan menyesal seumur hidup bila tidak mengangkatnya. Sebab suara yang menyahut di seberang sana seketika membuatnya ingin menangis penuh lega.

“Hyung..., ini aku. Mingyu.”

Bila keajaiban itu memang ada, maka Seungcheol akan mulai mempercayainya.