Daisy
Seungcheol short narration
from
Unexpected Reunion
•••
“Kalau yang ini apa?”
“Wild Blossom. Terinspirasi dari bunga sakura. Tiap kelopaknya diukir dengan tangan yang sudah berpengalaman dan dilengkapi berlian murni. Berat totalnya sekitar 0.50 karat. Ingin melihatnya secara langsung?”
“Boleh.”
Sherina pun mengeluarkan kalung emas putih berliontinkan bunga yang sangat cantik. Memberi unjuk pada seorang gadis belia yang tampak serius mengamati segala perhiasan yang sedari tadi ditunjuknya.
“Wild blossom mewakilkan keceriaan khas anak muda dan semangat kontemporer. Ini juga cocok untuk kamu.”
Gadis itu sekali lagi diam meneliti. Kedua tangan terlipat di atas etalase, seakan mengerti benar bahwa dia tidak boleh sembarang menyentuh. Sherina tersenyum kagum tanpa sadar. Hanya dengan melihat gerak-geriknya, Sherina tahu bahwa gadis belia ini begitu pintar dan penuh sopan santun.
“Beneran cocok buat aku? Aku kan, masih kecil. Kira-kira kalau pakai ini, bakalan dianggap aneh, nggak?”
Masih dengan senyum sopan, Sherina sedikit membungkuk demi setara dengan gadis itu. “Boleh saya tahu kamu sekarang duduk kelas berapa?”
“Aku baru mau masuk SMP. Karena aku lulus dengan peringkat satu seangkatan, aku dibolehin beli kalung bagus sebagai hadiahnya.”
“Kalau begitu kamu baru saja mendapatkan hadiah yang tepat. Wild blossom ini juga memberi arti semangat baru dan wajah baru. Dalam artian karena akan memasuki fase baru, kalung ini bisa mewakilkan kamu sebagai si belia yang mulai tumbuh besar menjadi remaja cantik jelita.”
Sherina tersenyum mendapati adanya binar kagum juga tersanjung di mata gadis itu. Lalu ketika ia kembali menatapi perhiasan di hadapannya, Sherina mengamati rambut panjangnya yang tergerai cantik itu dihiasi hair pin bermotifkan bunga yang cukup familier.
“Sepertinya kamu sangat menyukai bunga. Yang di jepit rambut itu favorit, ya?”
Sherina merasa baru saja mendapatkan kartu As gadis ini sehingga maniknya tampak berbinar senang.
“Iya. Ini favorit aku. Soalnya nama aku diambil dari sini. Aku coba cari yang mirip ini, tapi kayaknya di sini nggak ada, ya?”
“Daisy!”
Panggilan itu mengurung niat Sherina untuk menjawab. Berganti dengan seketika jantungnya seakan berhenti berdetak sejenak. Terlebih menyaksikan sendiri bagaimana gadis itu langsung memeluk si pemanggil serta mendapatkan usapan lembut di kepala.
“What take you so long, Papa?”
“Because I have to look for someone I told to wait in BR but she just stopped by here instead. I almost called a security to find you.”
Apa ini...?
“Maaf, Papa. Daisy nggak sabaran karena Papa bilang mau beliin kalung buat Daisy.”
Apa maksudnya ini?
Tidak pernah ada di pikiran Sherina bahwa dia akan melihat pemandangan ini. Gadis belia yang sedari tadi dia kagumi tidak hanya karena kecantikannya yang begitu murni namun juga sangat santun, ternyata adalah putri dari pria ini...?
“Jadi, ada yang menarik perhatian kamu?”
Sherina perlu mengatur mimik wajahnya yang terlalu menunjukkan keterkejutan. Berusaha bersikap normal ketika tatapannya bertemu langsung dengan milik Sebastian yang memberikan senyum—entah apa artinya. Lalu kembali fokus pada gadis bernama Daisy yang kembali ke meja etalase.
“Di sini nggak ada daisy. Tapi Daisy suka yang ini. Boleh, Pa?”
“You sure? We can try to find your daisy in other stores.”
“Enggak. Daisy mau ini aja. Kakaknya bilang ini cocok buat aku dan aku langsung suka karena artinya nggak kalah bagus dari daisy. Boleh ya, Pa? I want this pretty necklace as your present, please?”
Sebastian dengan senyum teduhnya, mengusap kepala gadis yang tak lain merupakan putri belianya itu sebelum berpaling pada Sherina. “Saya akan ambil ini.”
Sherina mengangguk saja dan segera mengemas kalung bernilai dua kali lipat dari harga sewa kontrakannya selama satu tahun itu. Mempertahankan profesionalitasnya dengan mengikuti prosedur seperti biasa hingga dia berhasil memegang black card pria itu untuk melakukan pembayaran final.
“Papa, Daisy boleh ke Baskin Robbins sekarang?”
“Boleh.”
Oh, seharusnya dia menahannya lebih lama lagi....
Sebab firasat Sherina mengatakan bahwa Sebastian sepertinya akan mengambil kesempatan ini untuk mengatakan hal yang tidak ingin didengarnya.
“Thank you for helping me to find the best present for my daughter.”
Sekeras mungkin Sherina menekan berbagai pertanyaan yang seketika membludak di pikirannya. Berjuang untuk tidak peduli dan tidak terlihat ingin tahu.
“Sudah menjadi tugas saya untuk memberikan rekomendasi terbaik untuk pelanggan yang saya layani. Boleh masukkan pin di sini.” Sherina berusaha menghindari kontak mata dengan terus menatap EDC yang kini ia serahkan ke hadapan pria itu.
“Sherina.”
Tidak, jangan memanggil....
“My offer still stands. I'm waiting your answer.”
“Bukan waktunya untuk membicarakan hal personal saat ini. Mohon masukkan pin kartu Anda.”
“Because I'm not sure you would deign to see me after this. Kamu udah menghindar sejak kemarin.”
“Karena memang udah seharusnya begitu,” Sherina menyerah. Menghela napas diam-diam ketika netranya ia beranikan diri menatap kelam yang sekali lagi membuat jantungnya berdebar gamang. “Tolong jangan terlalu melewati batas. Aku udah anggap waktu itu nggak pernah terjadi dan kamu nggak pernah menawarkan apapun. Lagipula nggak seharusnya kamu bermain kayak gini di saat kamu udah punya anak. Jadi tolong selesaikan transaksinya supaya aku bisa lanjut bekerja.”
Sherina pikir dengan Sebastian melakukan yang diminta, maka pria itu sudah menyerah dan Sherina dapat menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Namun ucapan berikutnya yang terlontar dari mulut sang pria berhasil mengusik keprofesionalan Sherina sekali lagi.
“My daughter only has me.”
Juga membuat Sherina nyaris menjatuhkan alat transaksi elektronik yang tengah dipegangnya itu ketika Sebastian sekali lagi memberi kejutan padanya.
“And I offer you to be her chaperon as the first step to starting over with me, Sherina.”
—