Deserve

Dokyeom short narration

from

The Hidden Prince

⚠️ there's a scene that'll cause a butterfly effect, please make sure you're mature enough before read this :)

•••

“Bella, ibumu mengatakan bahwa ada tamu datang ke rumah. Kau harus pulang.”

Sertamerta tangan-tanganku yang tengah membetulkan batang pink jasmine yang melilit itu terhenti. Keningku kontan mengernyit menyertai mulutku membuka, “Apa itu sangat mendesak? Memangnya siapa yang bertamu ke rumah?”

“Entahlah. Beliau hanya menyampaikan pesan begitu. Kau sulit dihubungi bila sedang sibuk.”

Sejenak aku tersenyum bersalah pada Brianna sebelum melepas kedua sarung tanganku lalu pamit untuk pulang lebih awal. Meski Brianna berkata bahwa dia dapat menjaga toko bersama yang lain tanpaku, tetap saja aku tidak enak hati meninggalkan mereka.

Apalagi aku baru saja kembali beraktivitas di sini setelah dua minggu absen.

Hanya membutuhkan waktu lima menit sampai mobil miniku menemukan jalan menuju rumahku. Meski dikelilingi pekarangan luas dengan rerumputan hijau yang menyegarkan mata, tetap saja aku terpaksa berhenti beberapa meter dari rumahku dan jantungku mulai berdebar panik.

Ada sekitar lima mobil sedan metalik diam berjajar menutupi seluruh panjang pekarangan rumahku dan aku langsung tahu siapa tamu yang dimaksud.

Oh, bloody hell!

Begitu saja terucap dari mulutku mengiringi gerak tubuhku bergegas turun dari mobil. Berlari-lari seperti tengah diburu lalu terengah disertai salah tingkah ketika tiga orang pria bersetelan formal yang berjaga di depan rumahku itu langsung menyambutku dengan bungkukan hormat.

“Selamat datang kembali, Tuan Putri. Yang Mulia Pangeran sedang menunggu Anda di dalam. Mari masuk.”

“Ke-kenapa dia harus datang kemari? Apa ada sesuatu yang serius terjadi?”

“Kami tidak diperkenankan untuk menjawab. Silahkan masuk, Tuan Putri.”

Mereka memberi jalan seakan-akan aku adalah tamu di sini. Aku segera masuk dan menemukan Ibu duduk di ruang tamu bersama seseorang yang sudah familier di ingatanku. Sir Nicholas bahkan ada di sini?

“Ada apa ini?”

“Tuan Putri,” Sir Nicholas lekas berdiri dan membungkuk hormat padaku. “Senang bisa melihat Anda kembali. Yang Mulia Pangeran sudah menanti kedatangan Anda.”

Baiklah. Lantas di mana dia?

“Yang Mulia Pangeran menunggu di kamarmu, Bella.”

“Apa?!” detik berikutnya aku harus merasa bersalah karena sudah memekik di depan Ibu juga Sir Nicholas. “Ma-maaf—ta-tapi..., kenapa dia ada—”

Ucapanku tidak selesai sebab aku lebih memilih pamit beranjak menuju lantai dua. Di mana kamarku berada dan jantungku seperti berdentam kalut menyertai langkah-langkah cepatku. Membuka pintu bercorak cokelat lembut dan mataku langsung terpaku pada sosok yang benar adanya tengah menunggu di dalam.

Oh, aku harus sedikit bersyukur karena selalu menyempatkan diri merapikan ruang pribadiku ini tiap sebelum pergi bekerja. Setidaknya aku memberi kesan baik padanya meski ini sungguh tidak seberapa dibandingkan kamar yang menampungku di kastilnya.

Kini rasanya seperti imajinasiku di masa kecil menjadi nyata. Menemukan sosok pangeran berkuda putih di kamarku dan tersenyum penuh wibawa seakan mengatakan bahwa aku adalah tuan putri yang dinantikannya.

Tapi versi ini tidak ada kuda putih. Pun senyum secerah mentari yang biasa mematri di wajah penuh menawannya itu tidak terlihat.

Balutan santai berupa celana cokelat gelap berpadu kemeja putih dengan bagian lengannya digelung hingga siku, nyaris tidak menunjukkan identitas sebagai seorang pangeran bila aku tidak mengenalinya. Apalagi sepertinya dia tidak dalam suasana hati yang baik.

Oh, habislah aku....

“Ya-Yang Mulia...,” lidahku mendadak kaku, begitu juga dengan sekujur tubuhku kala melakukan bungkukan hormat demi menyapanya. “Pangeran Arthur.”

You did it again.

Aku mengerti teguran itu. “Saya tidak berada di kastil Anda dan hanya seorang manusia biasa di sini. Sudah keharusan saya menghormati Anda sebagai seorang pangeran.”

“Kalau begitu tidak seharusnya kau keluar dari sana bahkan tanpa seizinku.”

Baiklah, aku memang sudah membuat kesalahan fatal.

Ketika dia tengah menetap di Holyroodhouse untuk suatu acara, aku dengan lancang pergi dari kastil tanpa menunggu izin darinya. Awalnya, aku beralasan Brianna yang mengabarkan bahwa toko kami kedapatan mendekorasi pernikahan besar seorang bangsawan sehingga aku harus membantunya. Tapi setelahnya aku tidak kembali lagi ke kastil.

“Dua minggu berada di kastil Anda membuat saya merindukan kegiatan saya. Juga...,” aku meneguk saliva mencoba menelan gugup yang terlalu besar menerjang. “Saya sudah memikirkannya dengan matang bahwa sepertinya saya bukan orang yang tepat untuk menikah dengan Anda. Maafkan saya, Pangeran....”

Aku sudah banyak melihat bagaimana orang-orang menyimpan kedua tangannya di balik punggung. Biasanya, itu adalah pertanda bahwa mereka tengah menunjukkan rasa percaya dirinya yang begitu tinggi, atau tengah menahan amarah.

Dan untuk pria di hadapanku, sepertinya opsi kedua sangatlah tepat untuk menjelaskan maksud dari gestur tubuhnya saat ini.

“Bukan berarti kau bisa pergi dengan sesuka hati dari tempatku, Princess Bella. Melarikan diri dari kastil tanpa perizinan dariku sebagai tuan rumah terhormat adalah suatu kesalahan besar dengan lima puluh kali cambukan sebagai hukumannya. Kau tahu itu?”

Aku tidak tahu itu!

“Dan seratus kali cambukan bila kau berniat untuk menentang peraturanku. Kau sedikit beruntung karena semua orang di kastil masih menghormatimu.”

Saat itu juga aku berlutut dengan perasaan hina. Rasa bersalah dan kalut bersatu menerjang hingga perutku melilit ingin muntah hanya dengan membayangkan hukuman itu menghancurkan kulit tubuhku tanpa ampun. Aku tidak akan pernah sanggup menghadapinya.

“Mohon ampuni saya, Yang Mulia Pangeran. Saya sudah meremehkan hal itu dan perbuatan saya sangat tidak termaafkan. Sa-saya..., akan menerima konsekuensi apapun itu asalkan mendapatkan kemurahan hati Anda untuk mengurangi hukuman saya.”

Aku hampir menangis ketika dalam tunduk dalamku mendapati kaki-kakinya mendekat lalu ikut berlutut di hadapanku. Tangannya yang tegas meraih daguku dan menitahku agar membalas tatapannya—yang tidak kusangka jauh dari dugaanku.

I’m just kidding, Princess. There’s no such cruel punishment in my castle even for you.

“Y-ya...?”

Lalu dia tersenyum hangat, masih ada sirat geli di balik tatapannya seakan dia puas sudah menipuku.

Tahan aku agar tidak menyerapahinya.

Looks like I’ve really scared you. Just like me who was freaking out when you left without my permission. Kita impas.”

Aku masih harus mencerna ketika dia menuntunku kembali berdiri. Selanjutnya, dia tidak melepaskan tangannya yang menggenggamku.

“Tapi aku memang tidak suka jenis penolakan ini, Bella. Tindakanmu cukup membuatku kesulitan tidur dengan nyenyak karena terus memikirkan segala kekuranganku sehingga kau harus seperti ini.”

“T-tidak. Ini bukan soal diri Anda, tapi soal saya,” bantahku secepatnya. “Mengesampingkan wasiat mendiang Yang Mulia Abraham, saya tidak dapat meyakinkan diri bahwa saya memang layak berada di sisi Anda. Pernikahan ini tidak seharusnya jatuh kepada saya, Pangeran.”

But you’re the youngest daughter of Garcia, Bella.

“Saya memang putri muda Garcia, tetapi seperti yang Anda ketahui, saya bukan lagi seorang bangsawan Garcia.”

Bibirku bergetar mengutarakannya, mengiringi batinku yang kembali perih akan luka yang ternyata belum sepenuhnya sembuh.

Rasanya seperti kembali tertampar oleh kenyataan bahwa kehidupanku bukan lagi seorang puteri dengan kehormatan mulia.

Bahwa aku hanyalah manusia yang sudah tercoreng oleh kesalahan yang membuat darah keturunan Garcia begitu hina....

“Mohon ampuni saya karena sudah mengecewakan Anda, Yang Mulia Pangeran. Tetapi ini demi nama baik Rodriguez dan saya tidak mungkin sampai hati menodai kerajaan ini dengan keberadaan saya di sisi Anda. Sungguh maafkan saya.”

Kupikir dengan segala alasan yang sudah kulontarkan akan membuatnya mengerti dan menjauh.

Namun sebaliknya, dia menutup jarak hingga kaki-kakinya bahkan melewati milikku, membuatku seketika merangsek mundur dan dia melakukannya lagi sehingga akupun melakukan hal serupa dan terhenti oleh ujung meja kerjaku di belakang sana.

“Ya-Yang Mulia—”

Arthur. Aku sudah mengatakannya padamu berkali-kali. Kenapa kau tidak mendengarkanku?”

Aku menahan napas atas tegurannya yang seperti menggertakku. Aku sudah terhimpit di antaranya, melihat melalui sudut mataku bahwa satu tangannya membuat teritori di sampingku, dan aku kontan menggigit kuat bibirku melihatnya terlalu dekat dari biasanya.

“A-Arthur...,” ralatku terlalu pelan. “A-Anda sedang berada di kamar saya—”

“Lantas?”

“Se-sepertinya saya terlalu dekat dengan Anda dan saya khawatir bila ada yang melihat—”

Good then. They will know that we’re in lovey-dovey and will make more room for us,” ujarnya dengan suara rendah. “And they will know that we are actually having a wedding in three weeks from now.

Apa...?

Pikiranku mendadak buyar di tengah keterkejutan atas ultimatumnya. Sebab di waktu bersamaan, napasku tercekat akan serangan mendadak darinya yang menciumku tepat di bibir dan aku sontak terpejam. Membawa tanganku lekas mencengkeram lengannya di mana ternyata aku memberi akses baginya merengkuh pinggangku dan aku sungguh terjerat di dalam dekapannya.

Aku tidak pernah mengira bahwa ini akan terjadi begitu cepat dan di momen amat tidak terduga.

Di kala aku baru saja mengatakan bahwa tidak semestinya kami bersanding, yang mana sepertinya aku telah memantik kemarahan seorang Pangeran Arthur sehingga dia memagutku dengan lumatan dalam penuh peringatan.

Juga kelembutan yang sangat mencerminkan dirinya. Layaknya sebuah afeksi yang sertamerta membuaiku sehingga aku membalas tiap kecupannya dengan malu-malu dan dia justru semakin mengejarku hingga aku mulai kewalahan.

Perasaanku terombang-ambing. Aku hanyut dalam sentuhannya. Namun seharusnya aku mendorongnya karena ini bukan hal yang tepat.

Kami masih berada di kamarku! Dengan pintu yang terbuka lebar!

Bagaimana jika ada yang datang dan melihat kami berciuman lalu malah menjadi sebuah alasan lain untuk mempercepat pernikahan yang seharusnya tidak terjadi?!

“A-Arthur...,” dengan sisa akal sehatku, tangan-tanganku dengan gemetar mendorong lemah bahunya, “To-tolong berhenti....”

Lalu aku harus mengutuk diri karena menyesal sudah menghentikannya.

Dia menyelesaikan sentuhannya, tapi tidak dengan jarak kami yang masih terlalu lekat. Perutku melilit akan hasrat tak biasa sebab hidung kami masih bergesekan menimbulkan percikan panas yang nyaris membuatku gila.

Apalagi aroma mint darinya yang menyatu dengan paduan musk violet juga jasmine teramat segar menguar di tubuhnya, membuat kewarasanku semakin surut dan sepertinya aku akan pingsan sebentar lagi.

Never say that you don’t deserve me. Never again, Bella,” gumamnya menekan di depan bibirku yang masih membuka. “I don’t care about your surname, your past, even your caste. I’m not just following my grandfather’s will but also my intuition that you are the right person for me.

Kaki-kakiku sepertinya sudah tak bertenaga dan mungkin akan terjatuh bila saja dia tidak melepas pelukan eratnya di pinggangku.

“Arthur....”

Dan aku meremang hebat merasakan adanya keposesifan di sana. Terlebih dia kini menghidu pipiku dan bibirnya bergerak lembut di atas kulitku yang seperti terbakar atas sensasi yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

And I won’t regret having crossed the line to kiss you right now. Because I can’t help myself again after you dared to leave me when I’m starting to need your presence around me, My Princess.

Aku benar-benar sudah kehilangan seluruh kewarasanku....