Ellana, dan kedewasaannya

✎__Mingyu as Kalandra, The Bodyguard - Pt.29

•••

Kalandra memasuki apartemennya, menemukan pemandangan nonanya yang tertidur di sofa hingga napas beratnya terembus cukup jelas. Keadaan ruangan yang mulai remang mengingat petang mulai datang sekiranya menjelaskan bahwa Ellana sudah cukup lama di posisi tersebut, menunggu kepulangannya.

Sepatu Ellana tergeletak begitu saja di depan pintu, membiarkannya bertelanjang kaki menapak lantai apartemennya yang dingin. Kalandra pun mendekat setelah menyalakan lampu, berlutut di sampingnya dan melihat lebih jelas mata yang mengatup damai itu menampilkan gurat letih.

Ada kecemasan hinggap di benak Kalandra, tentu saja. Mengetahui dari mana Ellana pergi dan menangis seorang diri, merupakan cerita yang tak luput dari perhatian Kalandra akan betapa gadis ini masih menyimpan duka.

“Kalan…?”

Seandainya kesedihan itu dapat disalurkan, sesungguhnya Kalandra selalu bersedia untuk meresapi setiap kerisauan Ellana, agar nonanya ini cukup tersenyum dan cemberut kepadanya. Seperti biasanya.

“Kapan pulangnya?”

“Baru aja.” Kalandra larikan tangannya meraih milik Ellana yang mengucek matanya sedikit keras. Lalu ibu jarinya menggantikan untuk mengusapnya lembut. “Udah makan?”

Ellana menggeleng dengan bibir cemberutnya. “Cuma makan kue buat Mama. Tapi nggak enak.”

“Kalau gitu aku buatin makan. Kamu mandi dulu aja, ya. Biar badan kamu segar lagi.”

Ellana mengangguk saja. Menerima handuk dan pakaian ganti yang Kalandra bawakan dari kamar, tanpa berkata apapun Ellana masuk ke kamar mandi. Menyisakan Kalandra yang lekas singgah ke dapur bersama sekantung plastik belanjaannya dan memulai tugasnya.

Setengah jam berlalu dengan cepat. Kalandra tengah menata meja makan ketika Ellana keluar dengan balutan kaus kebesaran yang menenggelamkan tubuh kecilnya. Rambut basahnya masih meneteskan sisa-sisa air sehingga begitu saja Kalandra menghampiri untuk mengambil alih.

Ellana tidak menolak. Melainkan mendongak pada Kalandra yang kini tengah menggosok pelan rambutnya dengan handuk yang sudah menampung basah. Membiarkan harum maskulin yang telah menjadi khas pria itu turut melingkupinya sehingga begitu saja Ellana menyandarkan diri di dada yang selalu ada untuknya, memeluknya.

“Aku boleh tidur di sini?”

Masih dengan pekerjaannya, Kalandra menjawab dalam gumam pasti, “Iya, boleh. Nanti aku kabarin Bibi Diah biar nggak nungguin kamu di rumah.”

“Tapi jangan bilang Papa. Nanti dimarahin.”

“Iya.” Kalandra sedikit tersenyum mendengar permintaan Ellana. “Aku udah masakin salmon panggang kecap manis kesukaan kamu. Mau makan sekarang?”

Bagaimana Ellana mengeratkan pelukan di pinggang Kalandra, merapatkan diri di dada Kalandra disusul gelengan kecil adalah jawaban bahwa Ellana masih membutuhkan waktu.

“Aku ngobrol banyak sama Mama.”

Dan Ellana yang memulai bercerita adalah alasan bagi Kalandra untuk tetap biarkan posisi mereka saat ini.

“Ngobrol apa aja?”

“Aku bilang kalau aku nggak punya foto bareng Mama. Aku cuma punya foto sama Papa dan aku cuma bisa lihat foto Mama sama Papa waktu aku belum ada. Makanya aku nangis. Soalnya aku kepengen lihat muka Mama secara langsung.”

Kalandra memahami keresahan yang mulai merambat dari suara pelan Ellana.

“Hari ini Mama ulang tahun. Harusnya umur Mama sama kayak Papa. Tapi mau berapa kalipun aku rayain, mau berapa kalipun aku tiup lilin, Mama cuma diam di tiga puluh dua….”

Kalandra mendengar pasti bagaimana suara Ellana kian lirih. Menyembunyikan pilu yang mulai menggetarkan bahunya sehingga Kalandra perlu tenangkan dalam rangkulan hangat.

“Aku selalu mikirin banyak hal tiap ketemu Mama. Aku mau ngerasain disayang sama Mama kayak orang lain. Aku mau ngerasain jalan-jalan sama Mama, tidur sama Mama, dipeluk sama Mama. Dan aku mau lihat gimana bahagianya Papa kalau Mama masih ada.

“Tapi setelah dipikir-pikir, aku ngerasa egois kalau minta semuanya. Kalau aja Mama masih ada, mungkin aku bakalan tumbuh dengan baik, tapi mungkin juga aku bakalan lebih egois karena aku merasa punya segalanya. Kamu pasti nggak jadi suka sama aku.”

Di tengah curahan hatinya, Ellana masih sempatkan mengingat Kalandra yang membuat pria itu perlu lengkungkan senyum di puncak kepala Ellana. Mengapresiasi tiap kejujuran gadis itu.

“Kalau semuanya aku dapatin, mungkin aku bakalan kehilangan hal yang udah aku dapatin sekarang. Aku nggak akan ngerasain sayangnya Papa yang kadang nyebelin. Aku nggak akan diperhatiin segininya sama Papa karena pasti sayangnya Papa bakal kebagi dua.”

Lantas Ellana menarik wajahnya, demi mendongak pada pria yang sedari tadi diam menjadi pendengar penuh pengertian. Penuh perhatian sebagaimana dengan tangan-tangannya memberi kenyamanan untuknya.

Atau lebih menakutkannya, mungkin Ellana tidak akan pernah ada di sini jika hidupnya berjalan terlalu sempurna.

Sebab pastinya, Ellana juga akan menjadi anak penurut yang menjalani hari demi hari terlalu tenang dan mulus.

Jadi mungkin, papanya tidak akan pernah mengirimkan Kalandra untuknya bila dia hidup terlalu baik.

Karenanya, mungkin, Ellana tidak akan pernah tahu rasanya jatuh cinta pada seorang pria yang bahkan bersedia menerima segala kekurangannya.

Dan Ellana tidak akan pernah tahu rasanya memiliki pria yang menyayanginya setulus Kalandra Mahesa.

“Jadi sekarang aku nggak terlalu nyesel karena nggak lihat Mama. Aku memang masih nangisin Mama, tapi aku mulai bilang makasih ke Mama karena udah ngelahirin aku dan jadi anak kesayangan Papa yang bisa ketemu sama kamu.”

Untuk pertama kalinya di hari ini, Ellana berhasil tunjukkan senyumnya. Lengkungan manis yang mengandung kejujuran sekaligus lapang dada yang tentunya patut Kalandra puji.

“Aku udah lakuin hal yang benar, kan?”

Maka jemari Kalandra hadir di wajah Ellana, pada surai basahnya untuk dia antarkan ke balik telinga dengan kelembutan yang cukup membuat hati Ellana berdesir. Atas hangatnya sentuhan yang menangkup pipinya kini.

“Terkadang situasi yang nggak kita harapkan itu ada untuk memberi tahu, kalau ada sisi lain yang sebenarnya jauh lebih baik dari yang kita mau. Dan kamu mulai melihat hal baik itu.” Kalandra turut berikan senyum tulusnya. “Mama kamu pasti bangga karena putri semata wayangnya semakin tumbuh dewasa.”

Sebab Ellana dan caranya yang mulai merelakan, merupakan satu hal lagi yang Kalandra syukuri, bahwa nona manjanya ini perlahan tunjukkan kedewasaannya.

“Harusnya aku ngajak kamu jenguk Mama lagi. Kemarin aku cuma ngenalin kamu bodyguard aku. Sekarang aku mau ngenalin kamu sebagai pacar aku.”

Sirat geli memancar di tatapan Kalandra. “Udah mau pacaran sama aku?”

Pipi merona Ellana adalah jawaban. Bibir cemberutnya juga menjadi hal menggemaskan yang tak Kalandra pungkiri bahwa dia merindukan Ellana dan tabiatnya.

Namun begitu. Kalandra masih belum siap menerima kejutan dari Ellana yang terkadang masih bicara sesuka hatinya.

“Katanya kalau mau nikah harus pacaran dulu?”