Happy Ending
Wonwoo oneshot AU
•••
Bagi Wonwoo, tidak ada yang namanya akhir bahagia di dunia ini.
Sepanjang hidupnya, Wonwoo hanya melihat derita dan kematian beriringan menutupi tiap kisah insani. Meyakininya bahwa sesungguhnya, manusia terlalu mengejar dunia yang fana ini hanya untuk berakhir mati tanpa berhasil membawa apa itu yang mereka sebut bahagia.
Wonwoo tidak pernah percaya adanya akhir bahagia. Di saat tiap tarikan napas yang harus dia dapatkan dengan jeritan dan lumuran darah. Di saat hidupnya digantungkan dengan hidup-matinya insan yang harus dia renggut oleh kedua tangan kejinya. Di saat dia justru merasa jemu melihat bagaimana jiwa yang harus dia cabut berlutut memohon pengampunan darinya penuh nestapa.
“Aku akan berikan apapun—berapapun jumlahnya ... aku akan berikan semuanya padamu! Kau ingin apa? Uang? Setengah saham perusahaanku? Atau anak-anak perusahaanku? Atau pulau pribadi di Yunani? Aku akan berikan semuanya! Asalkan kau selamatkan nyawaku!!”
Mata monolid yang menyorot setajam katana itu tidak berkedip. Sebaliknya, tatapan menghina memancar mengiringi seringai kejam di bibir tipis kakunya.
“I just want your soul.”
Tiada belas kasih, enggan mendengar teriakan penuh cela atas ketidakberkenannya untuk mengampuni, Wonwoo luncurkan kaliber dalam satu tembakan tepat ke jantung pria menyedihkan itu. Menyaksikan tubuhnya ambruk seketika bersama darah merembas cepat menodai granit yang dingin, dengan mata yang tak sempat terkatup atas nyawa yang sudah terlanjur binasa.
Sekali lagi, Wonwoo menutup satu kisah dengan tragis. Memupuk satu keyakinan lagi bahwa akhir bahagia itu tidak akan pernah ada. Tidak bila tangannya yang menjadi peran utama.
“All clear. The target has fallen.”
“Good. Blow up the place.”
Melangkahi tubuh-tubuh yang sudah bergelimpangan, Wonwoo mengiakan balasan dari earpiece-nya tanpa bicara lagi. Dia kemudian mengeluarkan sesuatu dari sakunya ketika suara gaduh tak terduga memaksanya untuk menukar kembali benda yang sudah di tangan dengan pistol.
Asalnya dari ujung sayap kiri, yang dia ketahui hanyalah ruang kosong. Namun wingtip shoes di kakinya lekas mengayun cepat tak bersuara. Tanpa menyurutkan waspada, tanpa keraguan, membuka pintu berdaun dua itu lalu menemukan kekacauan di dalamnya.
Bukan ruang kosong. Melainkan kamar yang diyakini sebelumnya amatlah cantik dengan susunan perangkat penuh ornamen putih berpadu biru lembut sebagaimana dengan pemiliknya yang telah duduk bersimpuh membawa kelam yang seketika gulita.
Pecah belah berserakan, darah yang mulai menggenang segar, mengalir dari tangan yang kini terkulai lemah mengotori gaun putih gadingnya, menjadikannya tampak mengerikan. Betapa dalamnya goresan yang ia ukir di kulit putih ringkih itu, berusaha memotong garis nadi menggunakan bilah kristal yang masih digenggam erat penuh gemetar.
Perempuan itu kemudian menolehkan kepala teramat pelan. Membawa tatapan kosongnya untuk ditangkap oleh netra tajam milik Wonwoo yang mengamati hingga menciptakan hening mencekam. Bersama desir angin malam mengalun masuk melalui jendela yang terbuka lebar menerbangkan tirainya.
Wonwoo tidak pernah membuang waktu. Apapun yang datang mengganggu misinya, maka dia akan bereskan detik itu juga. Tanpa ampun.
Tapi sosok itu menghentikannya. Memakunya dalam ketercenungan lama demi menyelami obsidian yang nyaris kehilangan nyawa sebagaimana dengan wajah ayu berbingkai surai legam panjang tergerai itu semakin pucat. Di mana untuk kali pertama, Wonwoo mendapati derai asing menyusup ke dalam nuraninya yang seharusnya sudah mati.
“Tolong....”
Dan Wonwoo tidak mengira hanya dengan suara parau tanpa asa yang mengalun lemah itu akan berhasil menggerakkan kakinya lagi.
“Tolong aku....”
Membuka kedua tangannya untuk menangkap tubuh yang ambruk itu agar tidak bertemu dinginnya lantai penuh noda. Jatuh ke dekapannya bersama kelopak indah itu mengatup seketika. Denyut lemah di nadi leher menjadi pertanda bahwa perempuan itu akan tetap hidup bila Wonwoo mengabulkan permintaannya.
Tapi bukankah Wonwoo bahkan tidak pernah memberi pertolongan pada mereka yang mengemis untuk hidup?
Karena tidak ada akhir bahagia bila dia mengambil peran.
Itulah yang dia percaya.
Sebelum kedua tangannya kini justru menahan sang puan agar tetap bernapas.