How Far?

Seungcheol as Sebastian

from

Unexpected Reunion

⚠️ mind the tags first ⚠️

CW // profanities , harsh words

TW // abuse , violence , attempt to self-harm and suicidal thoughts

•••

Mungkin ini akan menjadi hari sial lainnya bagi Sherina.

Atau mungkin ini adalah satu dari pukulan telak lain yang datang untuk mengingatkan bahwa hidup Sherina tidak akan pernah bisa menjadi baik-baik saja.

“Aku udah bayar minggu lalu. Apa lagi yang kamu mau?!”

Dan ucapan meningginya, sudah cukup mengatakan bahwa jarum kefrustasian Sherina sudah berada di angka sepuluh.

Easy, Babe. Aku cuma mau nengokin kamu.”

Sherina muak bukan main mendengarnya. Pun menyaksikan wajah Arkan yang tersenyum layaknya pria-manis-berhati-baik itu sudah cukup membuatnya ingin muntah.

“Nggak boleh, ya, nengokin pacarnya yang lagi banting tulang kerja? Demi melunasi hutang-hutang orangtuanya? Betapa berbaktinya kamu.”

Jika Sherina sudah tidak tahu diri, dia pasti sudah meninju wajah Arkan hanya demi menghentikan tawa menghina itu.

Tapi yang bisa Sherina lakukan hanyalah mengepalkan tangan, menjadikannya pegangan diri di kala harus menerima pelukan mengapresiasi sekaligus menjijikkan dari Arkan.

Bagaimana pria itu menghirup dalam-dalam rambutnya, menenggelamkan diri di perpotongan lehernya seraya menggumamkan kata-kata manis yang justru membuat Sherina semakin mengutuk pria ini.

You can be a good girl to them but why not to me? Aku bisa ngelunasin semuanya langsung kalau kamu mau balik tinggal sama aku, lho.”

Sherina harus mengais kesabaran dalam pejaman kuat. Merasakan tangan Arkan mulai mengelus pinggangnya penuh merayu.

“Kamu harusnya sadar kalau kamu tuh nggak akan mampu tanpa aku, Sher. Aku masih baik karena nggak ngelemparin kamu ke bos aku. Soalnya aku masih nggak rela kalau kamu dipake sama dia.”

Tawa renyah bercampur mencela itu sekali lagi menginjak-injak harga diri Sherina. Namun apa yang bisa dia lakukan sekarang, memangnya?

“Tapi masalahnya, dia kepengen banget cobain kamu. Aku disuruh percepat jatuh tempo pembayaran kamu atau aku harus bawa kamu ke dia kalau kamu nggak bisa penuhi itu. Aku harus gimana ya, Sher?”

Saat itu juga Sherina membuka mata, mendorong Arkan sekuat tenaga untuk dia berikan tatapan penuh kebencian juga sentakan marah. “Kamu gila?!”

“Bukan aku tapi bos aku. Dia emang udah tergila-gila sama kamu. Dia bilang kalau kamu itu cewek paling cantik dari semua ceweknya. Aku jadi jumawa dong, sampai aku bilang kalau kamu nggak cuma cantik tapi hebat juga di ranjang. Makin menjadi deh dia mau sama kamu.”

Tidak tahan lagi, Sherina layangkan tamparan di pipi Arkan. Wajahnya sudah memerah hingga napasnya menderu geram atas ucapan kotor pria itu yang amat merendahkannya.

“Lo pikir gue barang murah yang bisa diobral seenaknya?! Gue nggak akan pernah sudi disentuh sama bajingan otak selangkangan kayak lo semua, bangsat!!”

Arkan justru terbahak, sebelum dengan cepat merenggut tangan yang sudah meninggalkan jejak tamparan di pipi kirinya, mencengkeram kuat hingga Sherina mengerang kesakitan, mendorong kasar perempuan itu membentur dinding di punggungnya dan Sherina hanya mampu menahan pening lantaran belakang kepalanya ikut terbentur.

“Mau berlaga sok suci ya lo? Perlu gue ingetin udah semurah apa lo karena udah gue pake berkali-kali, hah? Perlu gue ingetin udah berapa banyak teman-teman gue ngajakin main threesome karena selalu terangsang tiap liat lo? PERLU GUE INGETIN?”

Masih dan selalu seperti ini. Sherina akan berakhir tak berkutik dan membiarkan Arkan mengoyak dirinya layaknya buruan yang mudah dicabik-cabik.

Keberaniannya selalu menghilang dalam sekejap dan hanya mampu berserah untuk kembali disiksa oleh penghancur terbesar hidupnya.

“Harusnya lo beruntung karena gue selalu posesif sama lo. Kalau enggak, lo beneran udah nggak ada harganya bahkan udah gue biarin lo dipake sama mereka, jalang nggak tau diri!

Arkan di antara menahan murka, tertawa di depan wajah Sherina yang sudah gentar. Tangannya yang sempat mencekik Sherina kini mengelus leher perempuan itu. Berlaga prihatin lantaran dia kembali meninggalkan jejak di sana.

“Bisa nggak, sih, dengerin dan nurut sama aku? Sekali aja, jangan mancing-mancing aku? Kamu tuh seneng banget bikin aku marah, ya?”

Arkan beralih mengelus pipi Sherina, menahan senyum kesenangan melihat perempuan itu mulai gemetaran.

Aah, dia sungguh menyukainya.

“Dua minggu dari sekarang. Kalau enggak, aku harus bawa kamu menghadap ke bos aku.”

Tentu Sherina tak dapat menahan rasa terkejutnya. Netranya yang melebar tertangkap jelas oleh Arkan yang segera tersenyum manis lalu menyempatkan diri mencuri kecupan di sudut bibir Sherina.

“Aku nggak punya pilihan lain, Sayang. Sebenarnya aku juga nggak mau bagi-bagi, tapi mau gimana lagi? Ngertiin, ya? Toh, nanti kita bisa main bertiga. Katanya asik, lho!”

Tangan yang masih dicengkeramnya itu Arkan bawa ke pinggangnya, memaksa Sherina membalas pelukan eratnya dan sekali lagi menghidu rambut panjang perempuan itu layaknya candu.

“Tapi aku akan lebih senang kalau kamu bisa lunasin cicilan berikutnya sesuai jatuh tempo. Jadi, mending ambil aman aja kalau kamu masih sayang sama aku, ya?”

Sayang...?

Apakah semua luka yang Sherina dapatkan ini adalah bentuk dari terma sayang yang selalu disanjung-sanjung oleh pria ini?

Apa begini bentuk kasih sayang yang pantas Sherina dapatkan?

“Sampai ketemu dua minggu lagi ya, Sherinaku.” Kali ini Arkan mengecup cepat pipi Sherina. “Jangan kecewain aku, oke?” Lalu pergi meninggalkan perempuan itu seorang diri.

Seketika tubuh Sherina lemas lalu meluruh jatuh di atas dinginnya lantai berdebu, menggenggami tangannya yang memerah penuh gemetar kemudian dibawanya menekan dadanya yang bergemuruh penuh gamang.

Sherina tidak lagi dapat menghitung sudah berapa kali dirinya dihancurkan.

Bukan hanya raganya, tetapi juga jiwanya.

Pun harga dirinya....

Tidak terhitung lagi pula sudah berapa banyak pukulan yang dia jatuhkan untuk dirinya sendiri. Berharap dengan menghukum dirinya sendiri seperti ini, maka Tuhan akan berbaik hati mengampuni segala dosa yang sudah dia lakukan sehingga hidupnya harus berjungkir balik seburuk ini.

Dia sudah tidak sanggup menjalani semua karma ini.

Tidak bisakah dia berhenti hidup saja...? Mungkin akan lebih baik bila dia menjalani hukuman di kehidupan selanjutnya saja.

Tapi dunia seakan lebih suka menertawakannya seperti sekarang ini.

Membiarkannya tidak lagi tahu ke mana harus bersembunyi ketika sosok yang amat tidak diharapkan hadir justru muncul di hadapannya. Menyaksikannya yang sudah terlihat begitu mengenaskan dari atas kaki-kakinya yang tegap seakan hendak ikut menertawakannya.

Dan oleh sisa harga dirinya, Sherina berusaha berdiri meski pada akhirnya nyaris kembali terjatuh. Lalu lenyap sudah seluruh martabatnya berkat Sebastian tidak hanya menangkap dirinya, tetapi juga mendapati lebam di tangannya.

“Tadi itu siapa?”

Itu adalah pertanyaan yang terlalu ringan keluar dari mulut Sebastian. Tetapi berhasil menohok Sherina layaknya pengkhianat yang ketahuan mencuri kepercayaan hingga jantungnya berdegup ketakutan.

“Bu-bukan siapa-siapa.” Sherina mengutuk dalam hati suaranya yang bergetar. “Ka-kamu..., kenapa bisa ada di sini...?”

“Aku lihat kamu keluar dari toko. Laki-laki tadi ngikutin kamu.”

Sherina berharap dirinya lenyap saat ini juga.

“Kamu bisa minta tolong ke karyawan lain kalau mau cari sesuatu.”

I’m looking for you, Sherina.

Sebastian melihat bagaimana perempuan itu merangsek mundur. Di mana itu justru memperjelas penglihatan bahwa bukan hanya lebam di tangan. Namun juga jejak yang membekas di leher Sherina sudah cukup mengundang gejolak meradang yang belum pernah Sebastian rasakan sebelumnya.

“Ke-kenapa kamu cari aku?”

How far has he done this to you?

Tentu tidak akan ada jawaban yang Sebastian harapkan. Sebaliknya, Sherina akan berusaha menutupi semua kehancurannya meski sudah terlanjur Sebastian lihat dengan mata kepalanya sendiri.

“Sherina.” Sebastian memanggil tanpa riak. Membiarkan perempuan menunjukkan defensifnya namun tidak dia biarkan lepas dari pegangannya saat ini. “Let me help you.

“Nggak ada yang perlu kamu bantu. Ini bukan urusan kamu jadi lebih baik kamu pura-pura nggak tahu.”

Sekali lagi Sherina melindungi diri, menutupi lukanya yang sekali lagi berdarah walau amat percuma di hadapan orang yang sangat berkemungkinan tengah menertawakannya.

“Sherina.”

“Kalau kamu cuma mau ngetawain aku, kamu cukup lakuin itu sekarang. Itu lebih baik daripada kamu pura-pura simpati kayak gini.”

I will pay it all off.

Menjadi kesempatan Sherina untuk tertawa sumbang barang sesaat. Satu lirikan tajam dia berikan sebelum menghardik pegangan di tangannya demi pergi dari sana.

Sungguh lelucon yang tidak lucu.

“Sherina.”

Can you stop playing around and leave me alone?!” Sherina tidak tahan lagi. Berteriak penuh frustasi sebagaimana dengan batinnya tidak lagi mampu bersikap tegar. “Mau sampai mana kamu lihat aku jatuh? Sampai mana lagi kamu mau lihat aku dihina?! Apa aku harus ngesot ke kaki kamu supaya kamu berhenti nemuin aku?! Atau aku harus potong tangan aku supaya kamu berhenti lihatin aku?!!”

Dia tidak lagi sanggup menghadapi teror ini.

I’m not playing around.

Tidak sanggup menghadapi pria yang seharusnya dia hindari justru semakin menghantuinya.

“Aku di sini bukan untuk lihat kamu yang kayak gini.”

Sherina sungguh tidak lagi sanggup menghadapi pria yang sudah pernah dia hancurkan di masa lalunya....

I just want to stop you from this suffering and start over with me, Sherina.