How to acknowledge and forgive
✎__ Hoshi as Gentala, The Younger Boyfriend
•••
Gentala tahu dengan pasti bagaimana Paula tak pernah mengaduh kesakitan sebesar apapun luka yang didapat.
Gentala juga tahu bahwa Paula selalu pandai menyembunyikan sakit yang mendera. Tak peduli meski sesungguhnya dia sudah hilang kuasa menahan pilu dan masih mampu berkata bahwa dirinya baik-baik saja padahal tubuhnya sudah kehabisan seluruh tenaga.
Dan Gentala sangat tahu bagaimana menghadapi perempuan yang sudah terlalu banyak berpura-pura kuat itu walau disertai cemas yang tak mungkin dia tepis seperti saat ini.
“Kak, bangun dulu. Kamu perlu makan.”
Gentala berkata sangat lembut, sebagaimana dengan tangannya mengelusi kepala yang nyaris ikut terkubur ke dalam selimut tebal itu kalau tidak coba dia tarik sedikit sampai wajah empunya terlihat.
Pucat dan tidak berdaya. Dua terma yang cukup menjelaskan keadaan Paula untuk saat ini. Erang lemah yang membersamai kesadarannya pun seperti undangan bagi Gentala agar membantu Paula terjaga sepenuhnya lalu menuntunnya duduk bersandar di tempat tidurnya.
“Jam berapa?”
“Sembilan.” Gentala membantu Paula meneguk sedikit air putih yang dibawanya, lalu beralih pada semangkuk bubur yang masih hangat. “Makan dulu, habis itu minum obat. Baru boleh tidur lagi.”
“Kamu bikin?”
“Enggak. Barusan aku beli di bawah.”
“Ada yang masih jual?”
Gentala mengangguk saja. “Mau makan sendiri atau aku suapin?”
Paula mengambil mangkuk di tangan Gentala. Jawaban bahwa dia ingin memakannya sendiri. Namun sejenak dia termangu mengamati bubur di mangkuknya bertaburkan suwiran daging ayam dengan irisan daun bawang dan sudah disirami kuah kuning.
Seperti biasa yang dia pesan.
Gentala tidak pernah lupa soal Paula yang hanya menyukai bubur dan ayam. Gentala tidak pernah lupa kalau Paula tidak suka kacang maupun campuran lainnya. Dan Gentala tidak pernah lupa soal Paula yang selalu menginginkan teh manis hangat mendampingi buburnya.
“Kenapa?”
Menyadari kalau Gentala memperhatikan, Paula menggeleng lantas memulai suapan pertamanya perlahan. Sayang sekali, lidahnya yang masih pahit tak dapat sepenuhnya menikmati manis dari bubur yang sempat diaduknya sedikit.
Apalagi tenggorokannya yang kering masih terasa sakit untuk menelan dan dia nyaris memuntahkan kalau Gentala tidak menyerahkan segelas teh manis hangat untuk diteguknya sedikit.
“Pelan-pelan,” tegur Gentala sebelum meletakkan gelasnya kembali. “Makannya nggak usah buru-buru. Aku bakal tunggu di luar. Nanti panggil aja kalau udah selesai.”
“Kamu mau ngapain?”
Mungkin pertanyaannya terdengar bodoh lantaran Gentala harus menoleh setelah berdiri bermaksud pergi, memasang ekspresi yang sulit diterka oleh Paula. Dan Paula tidak suka bila dia tidak berdaya akan itu.
“Aku mau ngerjain tugas dulu. Ada makul yang remedial.”
“Apa?”
“Kriminologi,” sedikitnya Gentala menarik sudut bibirnya sebelum melanjutkan, “Jelek sedikit. Makanya mau aku perbaikin.”
Paula merasa tidak memiliki hak untuk berkomentar. Lantas dia hanya mengangguk untuk kembali berkutat dengan buburnya, sementara Gentala keluar dari kamar ini.
Tapi sesungguhnya itu cukup mengganggu pikirannya.
Paula tahu kalau Gentala tidak pernah sekalipun mencetak nilai buruk di tiap mata kuliahnya. Dia selalu mendapat kepuasan di nilai A maupun B dan biasanya mulai kalang kabut kalau sudah menyentuh B minus.
Paula tahu kalau di balik wataknya yang lebih banyak terlihat tak serius dan kekanakan, Gentala tidak pernah bermain-main di ranah kuliahnya. Pria itu punya dedikasi dan tanggung jawab terhadap pilihannya dan mudah terusik kalau kesungguhannya dipermainkan.
Itulah mengapa Paula mempertanyakan sikap Gentala waktu itu.
Paula tidak pernah mengira bahwa Gentala akan sebercanda itu dan mengira bahwa pria itu mulai menyepelekan hubungan mereka untuk dipermainkan dengan guyonan amat kekanakan seperti yang didapatkannya. Paula tentu tidak senang dan tentu perasaannya tersebut adalah benar.
Tetapi Paula juga mempertanyakan apakah dirinya terlalu berlebihan dalam mengambil sikap sampai Gentala harus memohon bahkan mengejarnya, lalu berakhir dengan ikut mendiamkannya hingga hari ini tiba.
Kalau boleh jujur, Paula juga mengakui bahwa sikapnya ikut kekanakan. Menjadikan kesibukannya sebagai alasan untuk menghindar bukanlah gayanya. Di saat dia tahu Gentala terus berusaha menggapainya di tengah keharusan memenuhi ujian tengah semesternya.
Bukankah itu terdengar bahwa dirinya yang terlalu jahat karena memperlakukan pria itu dengan metode menyebalkan ini? Rasanya kembali ke masa dirinya begitu tega mencampakkan pria itu di tiap mengejar cintanya, padahal Paula tersadar kalau caranya terlalu jual mahal.
Tapi itu kan, dulu. Sekarang sudah beda cerita.
Kini di kala dia tidak lagi punya tenaga untuk berdiri sendiri, dengan tidak tahu malunya mencari Gentala dan bersikap seakan-akan dirinya tak melakukan kesalahan apapun. Sampai sudah berada di tempat tidurnya, berbalutkan piyama kebesarannya, pun diperlakukan secara baik agar dirinya beristirahat dengan nyaman di sini, bagaimana mungkin Paula masih bisa bersikap tidak merasa bersalah di saat dia sendiri tahu bahwa sikap Gentala pun tidak sepenuhnya seperti sedia kala?
Kepalanya berdenyut sakit, memicu nafsu makannya yang tak seberapa semakin merosot turun sehingga kini dia letakkan mangkuk buburnya yang baru habis setengah itu ke meja nakas. Dia bermaksud menuntaskan acara makannya dengan meminum obat lalu kembali beristirahat, tetapi perasaan yang terlalu mengganjal itu semakin mengganggunya.
“Gentala?”
Paula menertawakan dirinya sendiri yang lemah sekali saat ini. Dengan suaranya yang nyaris mirip seperti embus angin, mana mungkin Gentala akan datang?
Memaksakan tubuhnya turun dari tempat tidur, Paula melangkah keluar dari kamar dan langsung menemukan pria itu di ruang tengah. Sempat begitu serius dengan laptopnya sebelum kehadirannya memecah konsentrasi dan atensi pria itu lekas beralih kepadanya.
“Kenapa, Kak?”
Untuk kali pertama, Paula tidak tahu bagaimana harus bersikap. Tubuhnya hanya mengikuti naluri impulsifnya yang kini menghilang entah ke mana. Menyisakan kosong dalam pikirannya yang kini hanya dipenuhi pening sehingga sadar tidak sadar Paula mengayunkan kaki-kakinya menuju Gentala yang sudah bangkit bermaksud menghampiri.
Lalu terdiam membiarkan Paula menyusup ke dadanya, menjatuhkan nyaris seluruh berat tubuhnya dengan bersandar di sana bahkan segera memeluk pinggang Gentala sebagai pegangan juga isyarat agar pria itu tidak menjauh.
“Kak?”
Paula tidak suka dengan panggilan itu, sebenarnya. Apalagi di situasi yang teramat canggung seperti ini, Paula terlalu paham bahwa Gentala bagai tengah membangun batasan tak kasat mata hanya agar dirinya tidak terlalu memasuki ranahnya yang teramat kaku.
“Kenapa, Kak? Ada yang sakit?”
Ada. Tentu saja ada.
Bukan hanya raganya yang tengah meraung kelelahan, hati dan pikirannya juga meminta untuk tidak lagi disuapi harga dirinya yang terlalu banyak diselimuti ego sehingga dirinya nyaris lupa caranya mengaku salah.
“Sakit…,” lirihnya, “Aku terlalu lama ngebiarin kamu sampai akunya sakit sendiri,” bersama denyut yang kian keras mendera di kepala - juga batinnya - Paula memejamkan matanya yang perih. “Maafin aku.”
Bukan jawaban lisan yang Paula dapat, melainkan pelukan yang terbalas disusul bibir Gentala hinggap pada puncak kepalanya. Merasakan pria itu sempatkan menghidunya di sana sebelum berkata, “Istirahat, ya. Badan kamu masih panas.”
Mungkin ini juga balasan dari Gentala, dan sudah seharusnya Paula anggap ini sebagai ganjaran atas sikap mendiamkan Gentala berhari-hari lamanya. Bukankah dengan begitu maka akan impas?
“Paula,” panggil Gentala lembut, “Aku udah refleksi diri dan mengakui kalau yang aku lakukan waktu itu terlalu menyinggung kamu. Jadi ini memang salah aku.”
“Aku juga salah karena nggak langsung bicarakan hal ini ke kamu dan malah menghindar dari kamu terus. I didn't mean to make you feel that you were childish and think that you won't be able to solve this problem. Sebaliknya, aku malah menyikapi hal ini dengan cara yang paling childish. Maafin aku.”
Tanpa Paula ketahui bahwa Gentala tersenyum geli mendengar pengakuannya. Sebab dia sembunyikan di pucuk kepala Paula, memilih untuk tidak bicara sebab perempuan yang tengah dia beri usapan di kepalanya ini kembali bersuara serak.
“Tapi aku emang sibuk karena ngurusin banyak hal dari klien-nya Pak Sabian. Ada pengajuan gugatan wanprestasi karena masalah hutang dari pihak tergugat. Jadi aku perlu - ”
“Iya, Paula, aku ngerti. Tadi aku juga udah dengar ceritanya dari Kak Mitha.” Gentala sengaja menyela, “Aku nggak akan menuntut penjelasan soal kamu menghindar lama, karena aku cuma mau dengar kamu udah maafin aku.”
“Aku udah maafin kamu.”
“Itu udah cukup buat aku.”
“Tapi kamu maafin aku, kan?”
Paula perlu menunggu Gentala yang tidak langsung menyahut. Sehingga dia lekas mendongak untuk mencari tahu apa yang tengah pria itu rencanakan saat ini. Dan sebelum pikiran buruknya datang, Gentala lebih dulu menyurutkannya dengan belai jemarinya di pipi pucat Paula.
“Padahal aku masih marah karena kamu terus-terusan diamin aku. Tapi semuanya jadi buyar begitu dengar kamu jatuh sakit sampai pingsan kayak tadi,” gumamnya diiringi senyum teduh. “Kayaknya aku nggak bisa marah lama-lama ke kamu. Udah hilang jadi khawatir dan cuma mau kamu sehat lagi kayak biasanya.”
Paula tidak mengelak, apalagi menolak ketika Gentala mengecup bibirnya. Lembut namun disertai lumatan kecil yang lebih dari cukup membuatnya terlena. Tidak peduli kalau dengan begini malah membuat panasnya kian naik, Paula akan terima asalkan Gentala tetap menciumnya.
“Aku kangen Paulaku yang jutek tapi sering godain aku itu.”
Bibir Paula tak tahan untuk melengkung manis walau tak seberapa. “Aku sejutek itu di mata kamu, ya?”
“Tapi aku suka, kok.”
Gentala dan sifat memujinya yang mulai kembali, Gentala dengan caranya menyatukan kening mereka, Gentala dan jawabannya, yang sekali lagi menyentuh hati Paula untuk kembali merasakan hangat yang didambakannya.
“Because that's how I fell for you and I love you just the way you are.“
“Gombal banget.”
Dan Gentala tak perlu tersinggung oleh jawaban Paula. Sebab dia tahu kalau perempuannya mengakui itu, bahkan membalasnya dengan kecupan manis di lehernya sebelum mendekapnya erat.
“I love you too,” ucapnya pada akhirnya. Menyembunyikan senyum di pundak Gentala ketika merasakan pinggangnya didekap erat oleh hangat lengan yang dirindukannya. “I miss sleeping with you.“
Kekehan berat nan menggetarkan hati yang juga terasa sudah begitu lama tak Paula dengar, kini mengalun begitu dekat di telinganya.
“Nanti, ya? Aku selesain tugas aku dulu.” Merasakan anggukan Paula, Gentala kemudian bertanya, “Buburnya udah dimakan semua?” dan gelengan kepala Paula membuatnya mengesah pelan.
Maka Paula harus menerima konsekuensi berupa tubuhnya yang kini berada di gendongan Gentala untuk dibawanya kembali ke dalam kamar. Satu hal yang segera Paula sadari dan lupa untuk Paula kagumi, bahwa Gentala yang tengah mengenakan kacamata menghiasi raut seriusnya kini menimbulkan efek kupu-kupu yang malah membuatnya mengulum senyum.
“Habisin. Atau nanti aku tidur di luar.”
Mengganti lengkung bibir Paula menjadi ke bawah sebagaimana raut wajahnya berubah memelas, lantas begitu saja dia mengelak, “Aku habisin. Jangan tidur di luar.” Lalu Paula menggigit bibir seraya mengaduk-aduk buburnya yang sudah dingin. “Nanti aku kedinginan….”
Memecah kekeh geli Gentala berlanjut satu usakan kecil hinggap di kepala Paula. Ya ampun, Gentala hampir lupa kalau Paula yang mulai mengerahkan jurus manjanya ini tak kalah mampu memikat hatinya lagi dan lagi.
Dan hari ini, Paula kembali membuat Gentala jatuh cinta lagi dan lagi pula.
“I won't let you get cold tonight.“
—