How to Earn Love

Dokyeom short narration

from

The Hidden Prince

•••

“Tuan Putri, mohon serahkan itu kepada saya.”

Mengelak, aku tetap melanjutkan tugasku dengan pergi begitu saja seraya mengangkut sebuah pot besar untuk dipindahkan ke dalam ruangan ini.

“Tuan Putri, Anda tidak perlu melakukan ini. Biarkan saya yang mengerjakan—”

“Di mana saya harus meletakkan ini?”

“Tuan Putri—”

“Beri tahu saja. Pot ini berat sekali!”

Pelayan itu lekas memberi jalan seraya menunjuk sudut ruangan tak jauh dari tempatku berdiri. Dia juga bergegas memegangi pot besar ini ketika aku berusaha meletakkannya dengan hati-hati sebelum akhirnya mendesah lega. Senyum puas lepas begitu saja dariku menatapi pot bunga itu seketika memberi kecantikan tambahan untuk ruangan ini.

“Cantik sekali. Sepertinya bunga ini juga akan menarik jika dipajang di pelataran atau di pintu masuk kastil.”

“Pendapat Anda akan menjadi masukan bagi kami.”

“Oh!” Aku terpekik melihat tanah berceceran di lantai ini. Oleh rasa panik, begitu saja aku meraih sapu untuk segera membersihkannya.

“Tuan Putri, biar saya saja.”

“Tidak apa-apa! Ini salah saya karena tidak hati-hati. Mungkin, Anda bisa tolong ambilkan peralatan untuk mengepel.”

“Sedang diambilkan. Sekarang Tuan Putri bisa beristirahat dan biarkan tugas ini kami lanjutkan.”

“Saya sungguh tidak apa-apa. Ini pekerjaan ringan dan saya sudah terbiasa.”

“Anda sudah terlalu banyak melakukan yang seharusnya kami lakukan sedari tadi. Jadi saya mohon agar Anda beristirahat saja.”

Kutatap perempuan yang sudah kukenal bernama Emma. Ada sorot khawatir di balik rautnya yang selalu tampak profesional. Seakan-akan bahwa jika aku melakukan pekerjaan rumah dengan tanganku sendiri akan membuatnya berada dalam masalah.

Tapi, aku merasa tidak sepenuhnya berhak dilayani oleh mereka secara penuh di saat aku masih menumpang di sini. Aku hanya ingin melakukan hal yang sekiranya masih bisa kukerjakan sebagaimana yang biasa kulakukan di rumah. Apa itu salah?

“Kalau begitu, bolehkah saya meminta buatkan minuman segar? Setelah minumannya datang, saya akan berhenti mengerjakan ini.”

Meski ada ketidaksetujuan di wajahnya, Emma tetap mengangguk sebelum akhirnya bergegas undur diri. Membiarkanku untuk menuntaskan pekerjaanku yang sungguh tidak seberapa ini.

Membersihkan rumah sudah seperti pekerjaan sehari-hariku. Walau aku tahu bahwa gedung kastil ini lebih besar dibandingkan rumah sederhanaku, tidak menyurutkan keharusanku untuk sadar diri sebagai calon ibu rumah tangga.

“Baiklah, yang terakhir, aku hanya perlu mengepel—”

Suaraku tertelan begitu saja. Baru kusadari bahwa beberapa pelayan yang sedari tadi menemaniku ternyata sudah menghilang entah ke mana. Menyisakan aku sendiri..., bersama pria yang seharusnya—menurut kabar—sedang bekerja bersama beberapa petinggi yang berkunjung di gedung sayap kiri sana.

“Ya-Yang Mulia Pangeran....” sertamerta aku merendahkan tubuh bermaksud memberi sapa, di mana saat itu juga aku menyadari bahwa penampilanku sedang sangat berantakan. “Saya tidak tahu bahwa Anda akan datang. Mohon maafkan saya karena tidak menyambut Anda dengan semestinya.”

“Aku mendengar keributan para pelayan dan beritanya menyebar dengan sangat cepat sampai kepadaku.” Dia tersenyum penuh menawan, melangkah mendekat secara perlahan yang malah membuatku semakin gugup. “They said that my princess is working very hard until the maids couldn't do anything.

Aku berdeham salah tingkah. Di mana secara refleks aku melangkah mundur yang sepertinya disadari olehnya yang segera berhenti.

“Sa-saya..., hanya melakukan tugas yang sudah semestinya saya lakukan. Ibu saya mengatakan bahwa bila menjadi seorang istri kelak, saya harus bisa mengurus segala pekerjaan rumah. Agar suami saya dapat tinggal dangan nyaman.”

Is that some kind of rules at your house?

Yes. My mother said that our job is to be the housewife. To ensure that our house is always comfortable, and make your husband proud of you,” jawabku dengan suara sedikit terbata, “That's how you earn love from your husband.

Kuberanikan diri menatap obsidian jernihnya, menerima sorot tidak setuju itu mengiringi langkahnya yang semakin mendekat. Lantas begitu saja aku membiarkannya mengambil gagang sapu yang masih kugenggam erat sedari tadi, membiarkannya kini bersandar pada punggung sofa.

That is not how you earn love, Bella,” ujarnya begitu lembut namun lugas. “Menikah adalah waktu di mana dua orang memutuskan untuk saling berbagi hidup dan cerita, dengan tanggung jawab yang sepadan. Di sini, aku memiliki prinsip bahwa kelak istriku tidak boleh terbebani mengurus segala sesuatunya hanya karena dia bersanding denganku. Dan ini, adalah salah satu yang tidak aku sukai.”

Jantungku bagai mencelus hingga diam-diam aku meringis. Apakah itu bentuk dari penilaiannya terhadapku? Apa aku terlihat buruk di matanya karena sudah melakukan ini?

Tapi, belum selesai aku merendahkan diriku, tangan itu sudah beralih menggenggamku. Menyentakku atas sentuhan terlampau lembut namun luar biasa menyengat sehingga begitu saja mataku bertamu pada miliknya.

You are going to be my wife, soon to be my queen. And your job is to accompany me in every step of my way. To always be by my side since I woke up until we going to bed again. And to lead this country someday, with me.

Sepertinya kini jantungku sudah berbalik arah untuk terjun ke perutku. Menimbulkan sensasi aneh terlebih tangan yang menggenggam milikku—ibu jarinya—tengah mengelus punggung tanganku.

And of course, I won't let these pretty hands to do an undeservedly job just like you did. I will treat you just like a queen you should be. And that's how to earn love by me, Bella.

Terkutuklah jantungku yang meledak bagai kembang api. Pipiku bahkan seperti terbakar hanya dengan melihat pria ini tersenyum teramat manis setelah menguarkan segala kalimat yang membuatku nyaris melayang layaknya orang kasmaran. Oh, sepertinya aku sudah terlihat bodoh sekarang.

“Yang Mulia—”

Arthur, Bella.

Tegurannya membuatku meremang. Menyertai gejolak hebat di perutku lantaran pria itu kemudian mengecup punggung tanganku seringan kapas. Namun sudah cukup membuatku ingin menguburkan diri karena saking lancangnya aku berdebar-debar atas rasa tersipu.

I've told you, for you, just call me Arthur.