I Choose You
Arthur, The Hidden Prince – Pt.6
Chosen – Panel 2
•••
“Sir Felix, bolehkah saya turun di sini?”
Melalui sudut mata, aku tahu Sir Felix tengah melirikku melalui kaca dan ia berdeham sejenak.
“Rumah Anda masih cukup jauh, Tuan Putri. Kami harus memastikan Anda sampai di tujuan dengan selamat.”
“Saya bisa tahu jalan pulang. Bisakah saya turun di sini saja?”
“Mohon maafkan kami, Tuan Putri. Kami tidak mungkin menurunkan Anda di tengah perjalanan terlebih kami tidak yakin apakah ini akan aman untuk Anda.”
“Saya butuh ruang untuk sendiri,” kuhela napas yang sudah cukup sesak. “Sekali ini saja. Saya belum sepenuhnya menjadi Tuan Putri jadi saya masih bisa lakukan semuanya sendiri, bukan? Atau aku harus menggunakan kata perintah agar kalian mau menghentikan mobil ini?”
Melalui kaca di mana aku bertukar tatap dengan Sir Felix, kulihat dia menunduk menyerah sebelum menitah sang supir untuk menepikan mobilnya sebelum berhenti.
“Jangan ikuti aku. Aku hanya butuh bernapas sebelum kalian terus menjeratku nanti jadi biarkan aku sendiri untuk hari ini saja.”
Untuk pertama kalinya aku sungguh memberi perintah sebelum menutup pintu lalu menjauh dari tiga mobil itu. Namun semakin menjauh, aku merasa semakin diawasi sehingga yang bisa kulakukan adalah berbaur dengan orang-orang di sepanjang jalanan ini. Memasuki area taman di mana aku harus bertabrakan dengan seorang anak kecil yang tengah membawa makanan berlumur cokelat dan kini tercetak pada gaun biru pirusku.
“Agnes, told you to be careful! Apologize to Aunty!”
Anak kecil itu memilih pergi tanpa bicara, digantikan oleh sang ibu yang meminta maaf sebelum menghilang dari hadapanku. Mendengar di belakang sana bagaimana ia memarahi sedangkan aku hanya bisa mengesah panjang lalu melanjutkan langkah. Membiarkan noda di pakaianku begitu saja.
Ada yang lebih penting untuk kupikirkan dan itu sudah cukup membuatku tidak lagi peduli dengan sekitarku. Pun ketika lagi-lagi bahuku disenggol seseorang, aku tidak pusingkan itu dengan terus melangkah gontai.
Tidak ada yang tahu bahwa aku akan menjadi seorang putri besok. Tentu saja. Menikah dengan seorang pangeran yang disembunyikan oleh kerajaan seharusnya bukan menjadi perangai besar. Tetapi aku tahu dengan pasti bahwa tanggung jawab berat sudah menanti untuk menimpa bahuku.
Pada akhirnya, aku hanyalah sebuah objek percobaan dan mungkin akan dikorbankan suatu saat nanti.
Ucapan Ratu Margaret sungguh menamparku bahwa sesungguhnya aku tidak sepenuhnya akan diterima oleh keluarga Rodriguez. Ada ancaman yang siap menusukku kapanpun bila aku salah mengambil satu langkah saja dan aku akan menghancurkan semuanya.
Sedari awal ini memang bukanlah pernikahan yang akan berujung indah, bukan?
Bodoh sekali bila aku berharap demikian. Nyatanya aku hanyalah batu loncatan untuk memperbaiki nama baik keluargaku agar mendapat pengampunan penuh langsung dari raja. Dengan membantu mempersiapkan pangeran tersembunyi mereka sebelum menghadap rakyatnya.
Riuh tiba-tiba terdengar di mana orang-orang berlarian akan rintik-rintik hujan turun secara mendadak. Bagaimana mungkin aku tidak menyadari bahwa awan sudah terlalu mendung sementara aku tidak mempersiapkan apapun?
Atau mungkin begini cara langit memayungiku? Dengan mengguyurkan air matanya sehingga aku bisa menyamarkan kesedihanku yang tidak lagi terbendung ini….
Begitu saja aku meluruh berjongkok di tepi jalanan setapak ini, mengubur wajahku dengan kedua tangan lalu memecahkan tangis yang sudah terlalu lama kutahan, di tengah derai hujan.
Mengapa harus aku…?
Mengapa ini harus terjadi padaku…?
Mengapa harus keluargaku yang mengalaminya…?
Aku tidak siap dengan semua ini. Aku tidak akan pernah siap dengan penebusan ini.
Bagaimana menghentikannya?
Bagaimana aku bisa keluar dari nasib mengerikan ini?
Bagaimana—
Kecamukku harus tertunda, menurunkan tangkupan tanganku kala dirasa hujan yang masih turun cukup deras itu tidak lagi menghunjamku. Menemukan sepasang kaki berbalutkan sepatu juga jeans yang sedikit basah di ujungnya itu sudah berdiri di hadapanku dan seketika aku mendongak.
Seketika…, jantungku mencelat saking kagetnya dan aku lekas berdiri. Menghapus sia-sia air mataku kemudian aku dibuat terhenyak atas cekal lembut tangannya di lenganku. Menahanku agar tidak mundur sementara dia semakin mendekat seakan memastikan kami tetap berada di bawah lindungan payung di tangan lainnya.
“Ya-Yang Mulia—A-Arthur…,” suaraku tercekat, tenggelam oleh deru hujan, “Me-mengapa Anda di sini—A-Anda belum diperbolehkan bertemu dengan saya—”
“Dan membiarkanmu terpuruk di tengah hujan seperti ini, di saat seharusnya kau sedang berbahagia menanti hari besar kita besok?”
Berbahagia…?
Di saat aku sadar teramat pasti bahwa semuanya hanya akan menjadi mimpi burukku mulai esok?
“Bagaimana Anda bisa ada di sini…?”
“Felix berkata bahwa kau meminta turun di tengah perjalanan pulang seorang diri. Aku akan anggap ini sebagai bentuk melarikan diri dari pengawasanku, Bella. Dan tentu saja aku akan langsung mencarimu ke manapun kau mencoba lari.”
Aku menunduk seraya tersenyum pasrah. Memangnya apa yang bisa kulakukan bila sudah berurusan dengan seorang pangeran milik negeri ini? Tidak ada lagi tempat bagiku untuk bersembunyi, bukan…?
“Saya tidak bermaksud melarikan diri. Hanya…, sedang merenungi sekali lagi soal kelayakan saya untuk menjadi pendamping Anda nanti….”
“I have told you to never say about that because I don't care, Princess Bella.”
Tetapi aku menyadari bahwa kau tidak peduli karena kau hanya ingin reputasimu, bukan…?
Entah apa yang tengah disembunyikan dariku. Soal dirinya, soal keluarga yang mewasiatkan perjodohan ini, dan soal alasan yang jelas mengatakan bahwa aku hanyalah tebusan…, entah apa lagi yang akan aku hadapi nanti dan entah apakah aku akan sanggup.
“Bella.”
Bahkan di tengah derasnya hujan yang semakin memekakkan, merdu suaranya masih dapat kudengar. Menyertai tangannya yang kini merengkuh sisi wajahku, menitah dalam gerak lembutnya agar aku membalas tatapannya yang terlampau hangat di tengah dinginnya udara yang begitu menggigit hingga aku mulai menggigil.
“Apapun yang sedang mengganggu pikiranmu, satu hal yang perlu kau tahu, bahwa aku memilihmu.”
Karena memang tidak ada pilihan lain, bukan…?
“I choose you, and I want you. To be my partner, my companion, my princess, and my queen. So if you're thinking of backing away, I will remind you that again.”
Sangat disayangkan bahwa aku tidak lagi bersentuhan dengan hujan. Sehingga dia mampu melihatku yang kembali melelahkan kebimbanganku lantaran ibu jarinya bergerak mengusap, melihat secara nyata bagaimana kerut di dahinya timbul sebagaimana sorot yang sulit kuterka artinya itu menyerbuku.
“Even when you're messy and crying like this, you're still pretty. How could I let you, then?”
Tidak ada yang dapat kulakukan kala berikutnya dia menghelaku ke dekapannya. Merasakan tangan-tangannya melingkupiku layaknya memberiku kehangatan juga perlindungan di bawah rinai hujan, membiarkan jantungku berdegup tak karuan sehingga aku tergeragap di sela gemetarku.
“A-Arthur…, saya sedang—”
“I don't care, Bella,” gumamnya terlalu rendah, terlalu lugas di dekat telingaku. “I just want to make you warm and give you much comforts. And make sure you know that from now, my arms are your safest place.”
Bagaimana ini…?
Aku tidak mungkin lari.
Aku memang sudah tidak punya kesempatan untuk lari.
Aku memang tidak diperbolehkan lari sejak nasibku sudah digariskan oleh mendiang Raja Abraham Rodriguez...
Dan sejak aku terlanjur jatuh ke dalam pesonanya di awal mula kami bertemu....