In the middle of the night
✎__Whistle from The Beast - Panel 1
Istilah kota yang tak pernah tidur memang selalu tersemat di belakang nama Jakarta. Tepat di sudut kota metropolitan bagian barat, kala dentang waktu yang menandakan hari telah berganti, raungan saling bersahutan itu justru mulai membelah sunyinya jalanan tengah malam.
Dua motor besar melaju kencang menerjang jalan besar kota. Satu-dua mobil mereka lewati secepat angin, bahkan bunyi klakson yang menegur pun sudah tertinggal sangat jauh di belakang sana. Mereka saling mengejar, saling mendahului, bahkan tak pelak berusaha saling menghalangi demi menyabet posisi pertama di pertaruhan kali ini.
Pada persimpangan tujuan, keduanya sama-sama berbelok tajam menyeberang sisi jalan, deru mesin kian mengaum bergabung dengan dinginnya udara yang sebenarnya tak seberapa. Bundaran yang menjadi penentu memisahkan mereka. Satu menuju simpang kanan pada area yang melewati depan sebuah mall, satu lagi menuju latar belakang gedung mall yang bersisian dengan deretan ruko yang telah tutup.
Dia berbelok lagi ke jalanan lebih kecil, menjadi jalan pintasnya yang tembus melewati gedung sekolah dan mempertemukannya kembali ke jalan raya, memberi ruang sedikit lebih jauh dari sang lawan yang baru muncul di belakangnya. Tanpa lewatkan kesempatan, pedal gas kian diperdalam dan tiada keraguan baginya berbelok tajam sekali lagi memasuki area akhir.
Di ujung sana, kerumunan mulai bersorak menyambutnya, membuka jalan sebagai garis akhir dan menjadikannya orang pertama yang menembusnya. Nyaris setengah dari mereka bergegas menghampirinya yang telah berputar balik, menyambutnya dengan ucapan selamat sekaligus namanya yang dielu-elukan kencang.
“Dewa! Dewa! Dewa!”
Jeritan pun kian riuh sebagaimana dirinya lekas membuka full face helmet hitamnya. Memberi kesempatan baginya pamerkan seringai penuh bangga atas keberhasilannya untuk kesekian kali. Juga memberi penghargaan untuk orang-orang yang sertamerta menghujani rangkulan juga pelukan penuh bangga padanya.
“Hidup Jaguar Neon!!”
Seruan yang mewakili lima kaleng bir untuk bersulang. Membuka pesta kecil mereka di sepetak ruang berluaskan tak seberapa. Tapi jauh lebih dari cukup bagi mereka untuk merayakan pencapaian yang sekali lagi mendongkrak nama mereka.
“Anjir, masih lucu aja pake Jaguar Neon,” celetukan pria dengan kaus hitam yang kian mencetak lengan kekarnya, mengundang tawa lainnya.
“Siapa yang ngide begitu, ya? Kayaknya dulu bilang biar nggak serem-serem amat tapi malah jadi kayak slogan permen warna-warni gini.”
“Eh, bagus, kan? Sekarang malah orang-orang pada deketin kita karena namanya lucu tapi isinya orang-orang keren. Noh, barusan nambah lagi pada mau gabung setelah liat si Dewa main.”
Sosok yang baru saja disebut namanya hanya tersenyum sembari meneguk birnya dengan santai. Lalu mendapat rangkulan dari si mata bulan sabit bila tengah semringah seperti sekarang ini.
“Mau nambah anggota, nggak?”
“Enggak,” jawaban kompak dari empat lainnya membuat Edgar berdecak kecewa.
“Sepi, anjir. Yang lain gengnya makin nambah, masa kita segini-segini aja? Katanya mau makin terkenal?”
“Lo doang kali, yang pengen terkenal. Biar cewek-cewek lo nambah lagi,” tembak Bilal dihiasi sinis khasnya.
“Terkenal nggak harus banyak-banyakan anggota. Yang penting orang-orang tau kalau kita ada kelasnya.” Tirta menimpal dengan tenangnya, lalu menyumpal mulutnya dengan satu potong pizza berlumur keju yang mulai dingin. “Lagian juga gue introvert.”
“Lo mah bukan introvert tapi males ketemu orang baru,” cibir Edgar yang malah disetujui oleh Tirta sendiri dengan kedikan bahu.
“Wa, Mala nyariin lo, tuh. Nyuruh lo baca chat-nya.”
Suara Morgan sedikitnya memecah ketenangan mereka dalam pesta kecil ini. Tiga lainnya disusul Morgan sontak menggeleng-gelengkan kepala atas jawaban yang keluar dari mulut Dewa.
“Bilang aja gue udah tidur.”
“Kebiasaan, njing,” caci Bilal yang tentunya tidak memberi pengaruh.
“Gue emang mau tidur,” sebab Dewa membalas tanpa rasa bersalah seraya bangun dari duduknya untuk pamit, “Gue numpang tidur, ya.”
“Dih, beneran? Baru jam segini?”
“Capek, Bro. Tenaga gue habis buat tadi.”
Selanjutnya kekehan bercampur cibiran dari mereka menghujani Dewa yang tanpa perlu menunggu jawaban lekas pergi dari lingkaran. Riuh canda tawa mereka seketika teredam begitu Dewa menutup pintu kamar yang ada di bangunan ini.
Jaket kulit hitam dia tanggalkan untuk dilempar ke dekat sofa, sedang dia melempar tubuhnya pada sofa setelah menukar ponselnya dengan sebuah rubik sebagai teman sebelum tidurnya.
Satu kali putaran sebagai pengamatan sebelum kedua tangannya mulai menyusun satu demi satu warna agar berkumpul di tiap sisinya. Tak butuh waktu lama baginya untuk menyelesaikan teka-teki kubus tiga kali tiga tersebut, secepat itu pula dia letakkan kembali ke semula dengan embusan jenuh. Barulah menutup kedua matanya.
Mengabaikan ponselnya yang menyala-nyala di dekat rubik tersebut, tak berniat menjawab panggilannya.