Itu bisa disebut bahagia, kan?
He is Bad but Actually 10 Part 2 – panel [16]
•••
Memalukan sekali.
Saking terlalu fokus memandangi ponselku, tidak menyadari bahwa kaki-kakiku sudah memasuki area lapangan. Alhasil, aku mendapat sambutan maut dari bola sepak dari satu teman sekelasku yang tengah bermain. Tepat mengenai wajahku.
Entah harus diletakkan di mana lagi harga diriku terlebih mendengar beberapa teman sekelas mulai heboh sebelum ada yang merangkulku. Mengubur wajahku dengan kedua tangan adalah opsi terbaik untuk saat ini dan membiarkan Saras menuntunku keluar dari lapangan.
“Coba lihat. Ada luka, nggak?”
Ternyata bukan Saras....
“Anya, buka tangannya. Takutnya lo mimisan.”
Aku menggeleng kencang seraya melangkah mundur sampai kakiku terantuk sesuatu dan nyaris terjatuh kalau saja tidak ada yang meraih dua lenganku, menahanku agar tetap berdiri.
“Anya–”
“Ke UKS aja, Deon. Biar sekalian diobatin.”
Itu suara Saras. Dia juga segera merangkulku dan mengajakku pergi. Syukurlah.
“Kamu, sih, jalan nggak lihat-lihat. Aku udah teriak nyuruh kamu awas, kamu tuh lagi jalan ke tengah lapangan tadi!”
Merasakan aku sudah duduk di tempat yang empuk, kuberanikan diri menurunkan sedikit tanganku. Menemukan Saras tengah meletakkan sesuatu di sebelahku.
“HP kamu sampai jatuh, nih. Untung aja nggak rusak. Serius banget mainin HP-nya lagian!”
“Sakit…,” rengekku pada akhirnya. Tidak lagi menahan diri untuk menangis, bukan hanya karena sakit di wajahku tetapi juga karena malu.
Namun sepertinya aku harus semakin memupuk rasa malu karena ternyata Deon juga berada di sini. Dia datang dari arah belakang sembari membawa beberapa peralatan obat juga menggeret kursi.
Kenapa dia juga ikut kemari, sih?!
“Saras aja.”
Saras malah mengangkat kedua tangannya sambil tersenyum aneh. Deon juga berlaga seakan tidak mendengarku.
“Kamu nggak bisa ngobatin. Kemarin aja–”
“Kemarin yang luka muka gue, sekarang muka lo. Sini, buka tangannya.”
“Deon, butuh es buat kompres kali, ya? Gue ambilin dulu, ya!” Saras langsung ngacir setelah mengedipkan sebelah matanya padaku.
Dia memang sengaja ingin meninggalkanku di sini!
Mau tidak mau, aku biarkan Deon yang mengobati. Kalau diingat-ingat lagi, terakhir kali tadi aku sedang membaca pesan balasannya sebelum dihantam oleh bola nyasar dan pikiranku pecah seketika. Aku tidak mengira kalau Deon akan datang secepat itu padahal seharusnya dia masih berganti pakaian.
“Untungnya nggak berdarah. Tapi hidung lo kayaknya bakal memar nanti.”
Menggunakan telunjuk, kusentuh hidungku sendiri yang terus berdenyut sakit. “Sekarang gimana?”
“Merah. Ada goresan sedikit. Bola sepaknya jelek juga soalnya,” jawabnya seraya menyingkirkan tanganku. Membubuhi kapas yang sudah ditetesi obat merah dan bisa kurasakan perih menyengat. “Chat gue sepenting itu kah, sampe lo nggak fokus merhatiin jalan?”
“Aku kepikiran terus.”
“Udah dibilang, gue nggak mau terlalu show off. Yang penting kan, sekarang gue lagi pelan-pelan perbaikin nilai. Asalkan belajar sama lo.”
“Tapi aku tetap nggak terima. Ulangan harian kemarin kamu cuma dapat segitu. Padahal kamu yang ngajarin aku. Rasanya kayak aku habis minta contekan ke kamu tapi malah aku yang dapat nilai bagus bukannya kamu.”
“Gue justru udah cukup senang lihat lo dapat nilai setinggi itu. Gue lebih ngerasa berhasil karena udah ambil peran sebagai tutor lo.”
Termangu menjadi jawabanku setelahnya. Memberi kesempatan untukku memandangi Deon yang begitu serius selama menjawab keluhanku baru saja di sela terus membubuhi obat di lukaku.
Senang … Apa dia sungguh merasa begitu...?
“Apa itu bisa disebut dengan bahagia?”
Kuperhatikan raut wajahnya yang berubah, sebagaimana dengan sorot matanya langsung menajam padaku. Kontan saja tanganku mengepal di pangkuan, meremas ujung kaus olahragaku sebagai pegangan.
“Kamu senang bisa ngajarin anak-anak SMP itu, dan kamu senang bisa ngajarin aku. Apa itu bisa diartikan kalau kamu bahagia?”
Satu detik … tiga detik … lima detik … Deon tidak kunjung menjawab.
“Kalau memang gitu caranya, aku mau kamu jadi tutor aku biar kamu bisa ngerasa senang. Setidaknya, itu juga bisa bantu kamu buat pelan-pelan perbaikin nilai kamu, kan? Seperti yang pernah aku bilang, we can be friends with benefit–”
“Anya.”
Aku tersentak mendengar suaranya lebih berat dari biasanya. Itu seperti memeringati meski hanya dengan menyebut namaku dan aku tidak mengira Deon akan menunjukkan ekspresi yang membuat jantungku nyaris copot dari rusukku.
“Jangan pernah sebut istilah itu buat lo sama gue. Gue nggak suka.”
Ada yang mencelus di benakku atas ucapan tajam Deon. Mataku mendadak terasa perih.
“Ka-kamu nggak mau jadi teman aku…? Kamu nggak suka … kalau kita saling bantu...?”
Dia memejam sesaat seraya mengembuskan napas sebelum kembali menatapku.
“Do you know what the meaning of friends with benefits?”
“Teman yang saling bermanfaat, kan? Kayak aku sama kamu. Saling bantu dengan belajar bareng-bareng, sama-sama menguntungkan.”
Selanjutnya, Deon malah menoyor keningku. Meski pelan, tetap saja aku terkejut akan tindakannya ini.
“Kenapa? Aku salah?”
“Kalau ngomong gitu ke anak lain, lo bakalan diketawain sampe lebaran.”
“Tapi kan, artinya emang begitu!”
“Secara google translate. Astaga, ini cewek polos banget. Udah mau lulus padahal.”
“Apa, sih? Emangnya bagian mana yang salah?!”
“Diem. Idung lo belum ditutup.”
Aku hanya bisa merengut sebal. Membiarkan Deon menutupi luka di hidungku dengan plester. Dalam jarak sedekat ini, aku bisa melihat gurat-gurat di wajah Deon. Masih ada bekas luka yang pernah kuobati beberapa waktu lalu meski sudah samar. Setidaknya aku bisa bernapas lega karena dia sudah sembuh dari luka-luka itu.
Juga, aku baru menyadari bahwa Deon memiliki aroma yang cukup segar. Seperti dedaunan bercampur citrus yang bertaburan di udara. Baru kali ini aku menghirup paduan ini dan rasanya menenangkan, juga menyenangkan....
“Gimana kalau ternyata bukan itu yang bikin gue senang?”
Lantunan suaranya kembali menyentakku. Membuatku mengerjap cepat menyadari bahwa Deon sudah menatapku lekat.
“Maksudnya?”
“Gue memang senang bisa ngajarin orang lain, kayak anak-anak itu. Tapi gimana kalau saat ini, gue bisa dibilang bahagia bukan karena bisa ngajarin lo, melainkan karena lo sendiri?”
“A-aku?” Jantungku seperti mencelat jatuh. Mengerjap beberapa kali demi mencerna makna dari ungkapan Deon. “Ke-kenapa aku? Emangnya, apa yang bisa buat kamu merasa itu adalah bahagia karena–”
“Bukannya lo pernah bilang, sekecil apapun itu, kalau bisa buat lo senang, itu adalah bahagia?”
Ya, aku yang mengatakan itu.
“Dan gue senang karena ada lo, di sini, sama gue. Itu bisa disebut bahagia, kan?”