Jangan berhenti suka

Kalandra, The Bodyguard

•••

“Ellana bilang kalau kamu berulang tahun hari ini.”

“Ya. Nona Ellana juga membuat sedikit perayaan untuk saya tadi.”

“Dia menyuruh saya untuk berikan hadiah buat kamu, yang besar dan banyak. Kalau tidak, saya tidak boleh pulang.”

Kekehan renyah di seberang telepon sana sedikitnya menular pada Kalandra. “Saya tidak ingin Anda merasa terbebani dengan itu.”

Belum lama ini, Rajendra—papa dari Ellana—menghubungi dan Kalandra segera memberi laporan mengenai kegiatan putri dari tuannya itu hari ini. Rajendra sedang berada di luar kota mengunjungi cabang perusahaan aliansinya dan baru akan kembali akhir pekan nanti.

“Tidak apa-apa. Justru itu menjadi kabar baik buat saya. Ella sudah tidak banyak protes soal kamu dan baru kali ini dia berpihak ke kamu.”

“Saya juga merasa itu kabar baik.”

“Sepertinya Ella mulai menyukai kamu. Saya bisa merasakan itu.”

Bibir Kalandra lantas menciptakan senyum. Sepanjang menanggapi Rajendra, Kalandra tidak melepas atensinya sedikitpun dari Ellana yang sudah terlelap di ruang tengah setelah sebelumnya memaksa untuk menonton film yang Kalandra sukai. Berujung dengan keluhan lantaran tidak mengerti maksud cerita yang dibawakan lalu tertidur begitu saja.

Dan percakapan ringan itu diakhiri dengan Rajendra yang pamit untuk pergi beristirahat mengingat waktu di sana sudah tengah malam. Kalandra pun mematikan televisi sebelum menghampiri si putri tidur yang semakin meringkuk di sofa.

“Nona Ellana, ayo tidur di kamar.”

Lenguhan pelan menyertai kerutan di keningnya, menggeleng samar seraya merapatkan selimut yang Kalandra berikan sebelumnya.

“Nona Ellana.”

Hng…, ng—gak….

“Bangun. Pindah ke kamar.”

“Nggak mau....”

“Ellana.”

“Ih..., jauh...,” rengekan khasnya melantun. Menyertai matanya terbuka sedikit, Ellana mengulurkan tangan lalu berkata, “Nggak mau jalan … gendong....”

Hanya dengan ini, Kalandra tahu bahwa Ellana tidak sepenuhnya sadar. Sepertinya kantuk sudah terlalu berat melanda. Maka Kalandra biarkan Ellana memeluk lehernya cukup erat kala dia putuskan menggendong gadis itu menuju kamarnya di lantai atas.

“Kalan…, met ulang tahun….”

“Kamu udah ucapin itu tadi.”

Gumaman pelan yang Kalandra tahu itu bukan kata-kata terdengar di bahunya. Begitu saja sudah cukup menerbitkan sunggingan kecil di bibir Kalandra di sela menaiki anak-anak tangga.

“Jangan bosen sama aku … aku emang nggak tau caranya nyenengin orang….”

Ada getir yang Kalandra pahami, bahwa sebenarnya Ellana masih memiliki ketakutan akan diabaikan.

Terlebih dia tahu bagaimana orang-orang di sekitar Ellana lebih banyak hanya memanfaatkannya. Membuat gadis ini sering merenungkan kepantasan dirinya dan berujung merendahkan dirinya sendiri. Kalandra tidak senang itu.

“Aku nggak tau bakal gimana kalau kamu pergi … jadi jangan berhenti suka sama aku….”

Kalandra membuka pintu kamar Ellana. Nuansa putih-pastel yang membalut kental seketika menyambutnya. Menunjukkan kepribadian Ellana yang betapa sesungguhnya gadis ini memiliki hati lembut juga rapuh, sebab kesendirian lebih banyak menjadi temannya.

“Kalan….”

Tangan Kalandra hendak meraih bantal lain ketika panggilan lirih Ellana mengalun. Menjadikannya berada dalam posisi mengungkung Ellana yang sudah ia baringkan, membiarkan tangan gadis itu meremat lemah kausnya.

“Kalan….”

“Apa, Ellana?”

“Jangan nyerah soal aku…,” ujarnya dengan mata kembali mengatup, “Aku lagi belajar suka sama kamu … jadi tungguin aku…,” lirihnya semakin mengecil, “Jangan ke mana-mana … tetap sama aku, ya…?”

Begitu saja Kalandra meraih tangan Ellana yang nyaris melunglai jatuh, menuntunnya menyentuh bantal yang sempat diambilnya dan langsung Ellana terima untuk dipeluknya di balik selimut yang segera menghangatkannya.

Kalaupun Ellana hanya mengigau, itu sudah lebih dari cukup bagi Kalandra untuk tahu. Bahwa di bawah sadarnya, Ellana sudah memikirkannya.

Maka kali ini saja, Kalandra biarkan dirinya melewati sedikit batasan demi membelai kepala Ellana, merasai halusnya rambut gadis itu di bawah sentuhannya, membuainya untuk beralih turun menuju pipi yang terkadang menguji kewarasan Kalandra agar menuruti naluri nakalnya untuk menciumi yang merona itu.

“Aku nggak akan ke mana-mana.”

Meski hanya keheningan yang menyaksikan, Kalandra tidak pernah ragu untuk sekali lagi menunjukkan kasih sayangnya pada Ellana yang sudah menaklukkan hatinya sejak awal.

“Aku bakal terus di sini, sekalipun kamu udah suka sama aku nanti.”