Jangan bilang-bilang
“Kamu kerja di sini? Kok, bisa?”
“Ya bisa. Orang cuma sampingan.”
“Setahuku part-time pun kebanyakan minimal harus tamat sekolah dulu. Tapi kenapa kamu bisa lolos kerja?”
“Wah, lo ngeremehin gue? Karena gue masih sekolah dan jadi anak nakal?”
Aku tergeragap akan tudingannya. Meski dia terkekeh seakan itu lelucon, aku terlanjur salah tingkah karena merasa pikiranku terbaca olehnya.
“A-aku nggak bilang karena kamu anak nakal! Aku cuma heran kenapa kamu bisa keterima padahal kamu masih sekolah!”
Deon bersedekap seraya menyandarkan tubuhnya. Setelah pertemuan mengejutkan tadi dan aku butuh waktu untuk menenangkan diri, Deon menghampiriku dengan alasan sedang mengambil rehat.
“Om gue yang masukin gue ke sini. Katanya lumayan buat nambahin uang jajan sekalian bayar kost. Jadi yah, gue ambil aja.”
“Kamu ngekost? Rumah kamu jauh banget dari sekolah, ya?”
“Gue nggak punya rumah.”
Aku tercenung. Tidak punya rumah? Apa maksudnya?
“Jangan bilang-bilang kalo gue kerja, ya. Apalagi kalo tau gue masuk pake jalur dalem. Ini lo doang yang gue kasih tau,” ujarnya sedikit berbisik padaku sebelum kembali menyandarkan tubuhnya. “Hari ini gue terpaksa masuk buat gantiin karyawan yang nggak bisa hadir. Makanya gue nggak bisa latihan. Sori, ya. Tapi besok gue pasti kosong, kok. Janji bakal latihan.”
Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap. Rasanya aku sudah melakukan kesalahan karena terlalu marah akan keputusan sepihak Deon tadi. Tapi setelah mengetahui alasannya, aku merasa tidak pantas untuk menghakimi karena sepertinya pekerjaan ini lebih penting baginya.
“Kak Deon!”
Kualihkan perhatian pada beberapa anak berseragam SMP yang menyerbu masuk dan langsung menghampiri Deon. Melihat bagaimana Deon menyambut bahkan mengajak anak-anak itu bergurau sekali lagi mengejutkanku.
“Kak, habis ini ajarin kita, dong! Besok mau ada ulangan Matematika, nih! Masih nggak ngerti.”
“Materi apa emangnya?”
“Persamaan dan Fungsi Kuadrat. Aduh, pusing banget sama grafik-grafik gitu.”
“Gampang itu, mah! Kaliannya aja yang pasti nggak dengerin gurunya waktu nerangin!”
“Lebih enak dengerin Kak Deon yang nerangin soalnya. Hehe!”
“Alasan! Ya udah, sana pesan minuman dulu. Nanti Kakak ajarin!”
“Mau pacaran dulu ya, Kak? Ciee, pacarnya ada di sini! Cantik, Kak!”
Eh....
Melihat anak-anak itu mengerling padaku, aku hampir mengelak kalau saja Deon tidak langsung menjitak kepala mereka satu per satu sambil mengusirnya dari meja ini. Tidak hanya aku, tetapi sepertinya Deon juga salah tingkah sebab dia lekas mengusap tengkuknya kala kembali menghadapku.
“Sori, ya. Mereka agak terlalu semangat tiap ketemu gue, jadi berisik banget.”
Tidak ada amarah, tidak ada lagi kekesalan. Sebaliknya, aku justru tersenyum melihat hal yang tidak pernah terlintas di pikiranku atas laki-laki ini.
“Aku nggak nyangka kalau kamu bisa jadi guru privat mereka juga.”
“Cuma ngajarin yang masih gue inget aja.”
“Kayaknya sebenarnya kamu cukup pintar karena bisa ngajarin mereka yang butuh bantuan.”
“Anak SMA udah pasti bisa ngerjain pelajaran SMP, kan? Itu bukan hal gede, kali.”
“Aku bahkan udah lupa materi SMP tuh kayak apa. Dan, aku nggak punya keahlian untuk bisa ngajarin orang lain, bahkan punya skill cari kerja lebih dulu kayak kamu. Jadi, kenapa kamu harus sembunyikan kepintaran kamu ini di sekolah?”
Tidak ada jawaban langsung keluar dari mulutnya. Kami hanya saling melempar pandang di mana aku berusaha membaca tatapannya yang menajam sebelum akhirnya berpaling lebih dulu seraya berdiri.
“Gue harus balik kerja. Kalau mau pesan lagi, tinggal datang ke kasir.” Deon kembali ke tempatnya, meninggalkanku tanpa memberi jawaban yang ingin aku tahu.
Karena setelah melihatnya berada di sini, pendapatku mengenai dirinya selama ini mulai terasa janggal. Bahwa Deon Aldevaro sepertinya tidaklah seburuk yang selalu kulihat selama di sekolah.