Kalandra, dan ketenangannya

✎__Mingyu as Kalandra, The Bodyguard - Pt.28

. . .

Sebenarnya, melihat segala respons Kalandra justru semakin membuat Ellana kesal.

Pria itu selalu punya cara untuk menjawab segala kerewelannya. Selalu punya cara dalam mengatasi egonya yang masih mudah meledak-ledak seperti sekarang ini.

Bukan tanpa alasan Ellana begitu naik-turun saat ini. Mungkin juga Ellana akan mencoba memahami alasan Kalandra begitu dibutuhkan papanya sehingga dia tidak perlu berpikir muluk-muluk yang membuat dirinya turut mempermasalahkan apa yang seharusnya tidak dia permasalahkan.

“Emang kenapa kalau aku mau sama Satria? Dia aja bisa jalan sama mantan pacarnya!”

Si Nadhira itu kelihatan bahagia sekali berada di samping Kalandra tadi. Bahkan Kalandra tampak tidak keberatan untuk meladeni celotehannya dan tidak menolak waktu perempuan itu menyentuh lengannya.

Memangnya ada status mantan pacar tetapi masih kelihatan akrab begitu?

Oh, ya, tentu saja ada, Ellana. Hanya saja itu bukanlah kenyataan yang mampu diterima oleh nalarmu karena kamu ingin lebih percaya dengan kesimpulanmu sendiri.

“Dasar nyebelin!!”

Bukan hanya Kalandra, tetapi Ellana juga mengutuk nasibnya yang sempat terjatuh di tangga eskalator dan menjadi tontonan banyak pengunjung. Apa-apaan dengan sepatunya ini? Bisa-bisanya mencelakai Ellana sampai harus terpincang-pincang untuk bisa sampai di tempatnya kini.

Mengingatnya saja sudah membuat Ellana nyaris menangis. Maka begitu saja dia melempar sepatunya dengan harapan kekesalannya sedikit surut.

Persetan dengan pandangan orang-orang. Persetan jika sepatu kesukaannya itu menggelinding ke jalanan dan dilindas oleh mobil yang berlalu-lalang. Persetan jika ada yang memungutnya untuk dibawakan kembali ke —

Dekat kakinya….

Ellana tidak mengira bahwa dia sudah berkutat dengan emosinya sangat lama. Sampai-sampai dia tidak menyadari bahwa Kalandra telah datang menemukannya. Bersama bingkisan dari restoran yang Ellana hapal dan dia tidaklah lupa kalau dia begitu menyukai takoyaki buatan tempat tersebut.

Kalandra berlutut di hadapannya, memeriksa keadaan kakinya sebelum wajah tegasnya mendongak menampilkan raut khawatir yang jelas kentara. Ekspresi yang bisa Ellana prediksi bahwa sebentar lagi pria itu akan memarahinya jadi Ellana akan punya alasan untuk kembali beradu mulut.

“Ayo pulang. Bisa jalan sendiri?”

Meleset dari prediksi dan Ellana tidak terima itu.

“Kamu nggak mau nanyain kenapa aku bisa jatuh?”

“Kamu mau ngasih tahu aku emangnya?”

“Aku jatuh gara-gara kamu!”

Masih tampak tenang, Kalandra memandangi Ellana yang kembali dirundung emosinya. Seakan membiarkannya meluapkan apa yang ingin diluapkan namun Ellana masih cukup sadar bahwa dia hanya akan berakhir mempermalukan diri sendiri di sini.

“Lain kali marah ke aku langsung. Jangan pergi gitu aja. Karena kamu selalu berakhir jatuh kalau milih buat marah-marah sendiri.”

Kalandra merapikan sedikit anak rambut Ellana. Masih tanpa riak berkata, “Aku udah bilang Bibi Diah, biar nanti kaki kamu dikompres. Kalau sampai besok masih sakit baru periksa ke dokter.”

Lalu Kalandra melepaskan sepatu Ellana lainnya, agar dia jinjing sebelum memunggungi gadis itu dan mengatakan, “Ayo naik.”

Hanya dengan begitu, hati Ellana luluh begitu cepat.

Kalandra dan punggung tegapnya itu terlalu mudah menarik Ellana untuk menurunkan egonya agar datang kepadanya.

Kalandra dan ketenangannya terlalu mudah membawa Ellana ke dalam gendongannya untuk mengajaknya pulang.

Kalandra dan segala caranya memang terlalu mudah melunakkan keras hati Ellana. Berbalik memeluk pria itu di tiap langkah-langkah tegasnya yang tak pernah ragu dalam mengambil keputusan untuk Ellana.