Kehilangan Mendalam
My Neighbor is Acting Weird — panel [14]
•••
Tidak pernah berpikir bahwa itu akan menjadi pesan terakhir yang kudapat darinya. Di pukul tiga pagi yang baru kubaca saat bangun dari tidur, aku mengira dia melakukannya karena mabuk dan kuabaikan begitu saja.
Tapi sekarang, aku merasakan penyesalan karena tidak membalasnya.
Seharusnya, setidaknya aku memastikan keadaannya. Apakah dia memang mabuk dan sedang berada di luar, atau hanya tidak bisa tidur seperti biasa di kamarnya.
Seharusnya, aku terjaga supaya bisa langsung menghubunginya dan mungkin saja dengan begitu, dia tidak perlu mengalami kecelakaan itu....
Seharusnya..., aku tidak lagi mengulur-ulur waktu dan coba menyelesaikan masalah kami secara baik-baik bila sungguh perlu.
Sekarang semua itu hanya bisa dijadikan pengandaian. Meratapi sosoknya yang kini berada dalam pigura di antara rangkaian bunga sebagai penghormatan terakhir. Tersenyum begitu manisnya dengan hiasan pita hitam yang membuatku mencelus nyaris menumpahkan air mata.
Kim Mingyu benar-benar telah pergi....
Aku masih tidak percaya akan kenyataan ini. Meski sudah berdiri di hadapannya, mengepal kedua tangan berusaha mengurung keharusanku untuk melakukan salam perpisahan, diiringi tangis keluarganya yang begitu deras, aku masih berharap bahwa semua ini adalah mimpi.
Tapi aku tetap melakukannya. Meski dengan perasaan pasang-surut terlebih ketika menerima pelukan bersama tangis dari Minji yang melonglong permohonan maaf atas perbuatan sang kakak, aku berusaha menenangkannya dan mengatakan tidak seharusnya dia bicara begitu.
Keluarga Mingyu sudah menerima kehadiranku. Minji bahkan selalu mengatakan ingin segera tinggal bersamaku, mereka semua begitu merestuiku bersama Mingyu. Putusnya hubungan kami tidak hanya menyakiti perasaanku tetapi juga keluarganya. Minji bercerita bahwa sang ibu sampai tidak ingin bicara dengan pria itu.
Namun kini, aku harus menyaksikan Nyonya Kim meraung penuh menyesal, meracau bahwa beliau belum memperlakukannya dengan baik. Mataku sudah terlalu perih lantaran bersikeras agar tidak menangis di hadapan mereka ... juga di hadapan Mingyu.
“Inkyung....”
Melalui sudut mataku, Inkyung menoleh setelah meneguk bir kalengnya. Selesai melakukan penghormatan terakhir, aku memilih keluar dari rumah duka dan Inkyung menemani.
“Aku pernah mengutuknya tepat setelah kami mengakhiri hubungan. Hatiku berteriak agar dia cepat pergi dari dunia ini,” ujarku seraya menatap nanar kaleng bir di tanganku, bibirku kemudian melengkung getir. “Aku tidak mengira bahwa ini akan benar-benar terjadi.”
“Hei, jangan bicara begitu. Itu bukan salahmu.”
Tarikan napasku begitu menyakitkan saat ini. Pun ketika merasakan Inkyung merangkul bahuku, aku tidak lagi merasakan kelegaan barang setitik saja.
“Aku tidak sungguh-sungguh berharap dia akan pergi. Apalagi secepat ini … Aku belum mendengar penjelasannya, belum mendengar permintaan maafnya. Lalu apa gunanya menyuruhku menunggu bila dia malah pergi sekarang...?”
“Chaerin....” Inkyung memelukku, memberi tepukan sekaligus usapan di punggungku seraya mengesah panjang. “Sekali lagi saja, kau bisa tumpahkan semuanya. Aku tahu betapa beratnya menerima kenyataan ini, jadi tidak apa-apa bila kau ingin menangis lagi.”
Pada akhirnya sekali lagi, aku menangisi pria itu. Rasa sakit hati akan dikhianati berganti dengan penyesalan mendalam. Bohong bila aku langsung membencinya setelah hubungan kami harus berakhir. Tentu saja..., aku tidak sepenuhnya membuang perasaanku terhadapnya sebagaimana dengan kenangan yang sudah kami ukir selama tiga tahun kebersamaan kami.
Aku masih mencintainya ... dan aku amat kehilangan dirinya....
Semalaman aku menetap di rumah duka. Bersama Inkyung, aku menemani keluarga Mingyu yang tidak beranjak dari persemayaman. Aku juga harus menenangkan Minji yang akhirnya jatuh tertidur di pelukanku. Seungkwan baru kembali datang di pukul delapan pagi di mana tamu mulai berdatangan untuk melayat.
Dari teman sekolah hingga kerabat kerja, begitu banyak orang yang berdatangan juga merasa kehilangan. Terlepas dari masalah kami, Mingyu memang dikenal sebagai pribadi mudah bergaul. Hubungan kami pun cukup diketahui oleh rekan-rekan kantor sehingga mereka juga mengucapkan turut berduka cita padaku.
Tidak ada yang percaya bahwa hubungan kami berakhir. Tidak ada yang tahu penyebabnya. Karena menurutku cukup Inkyung dan Seungkwan saja yang tahu cerita sebenarnya.
Namun sedikit yang mengejutkan, pemimpin perusahaan tempat kami bekerja juga akan hadir untuk melayat. Choi Seungjo, CEO muda perusahaan kami menyampaikan bela sungkawa secara langsung dan tampak mengobrol cukup lama bersama ayah Mingyu. Barulah ia menghampiri kami.
“Saya dengar bahwa kalian merupakan kerabatnya yang paling dekat. Saya turut berduka cita. Sebagai bentuk rasa simpati, saya akan beri kelonggaran bekerja untuk kalian selama satu minggu ini agar fokus mengantar Kim Mingyu sampai ke peristirahatan terakhirnya.”
Baik aku, Inkyung maupun Seungkwan tidak mengira akan diberi hak istimewa ini. Tidak ada yang dapat kami ucapkan selain terima kasih sebelum akhirnya mengantarnya keluar dari rumah duka.
Rasanya begitu janggal mengingat perusahaan tempat kami bekerja tidaklah sebaik ini. Menjadi budak korporat memang tidak selamanya menyenangkan. Namun tidak mengherankan bila mendapat kebaikan sekecil ini sedikit aneh tetapi juga menghibur batin kami yang selalu tertekan.
“Astaga!”
Aku nyaris memekik begitu teringat sesuatu. Memeriksa jam di tangan, mataku serasa ingin keluar sebelum kembali menatap kedua temanku yang terheran-heran.
“Cheri. Aku meninggalkannya semalaman!”