Memang sulit dipercaya

He is Bad but Actually 10 Part 2 – panel [14]

•••

Wow, bravo! Give them applause!

Riuh tepuk tangan langsung menggema ditujukan pada kami. Aku bisa merasakan sekujur tubuhku berdesir penuh kelegaan. Praktek percakapanku dengan Deon berjalan dengan lancar dan aku bisa melihat Mrs. Santi begitu puas bahkan terpukau pada hasil kerja kami.

“Saya baru tahu kalau kamu bisa sefasih itu, Deon. Pelafalan kamu juga tepat dan kelihatannya kamu nggak ada kesulitan di setiap dialog. Kayaknya kamu giat sekali latihannya, ya.”

Kulirik Deon yang hanya cengengesan. Tidak ada niatan untuk membela diri atau meralat. Membuatku mengembuskan napas berat dan malah menjadi perhatian Mrs. Santi selanjutnya.

“Dan kayaknya kamu berusaha keras banget bantu Deon untuk tugas bersama kali ini, Zevanya. Saya akui kalian bekerja sangat baik kali ini. Saya akan beri kalian A+.”

Kesiap takjub beberapa murid tidak menjadikanku bangga akan nilai yang kudapat padahal itu sangatlah memuaskan. Sebaliknya, aku semakin gusar karena laki-laki ini tidak mencoba untuk menunjukkan dirinya yang sebenarnya.

“Mrs. Santi, sebenarnya saya cuma–”

“Zevanya memang banyak bantuin saya, Mrs. Dia ngajakin saya buat ngarang bebas. Jagi nugas bareng dia bikin saya mikir akhirnya. Hehe!”

Aku melotot pada Deon yang malah melempar senyum lebar padaku seraya menjungkitkan alis. Melihat Mrs. Santi percaya pada ucapan Deon dan langsung menutup kesempatan dengan menyuruh kami kembali ke tempat duduk, aku hanya bisa pasrah berbalik menuju mejaku.

Deon benar-benar tidak ingin mengatakan yang sebenarnya. Aku kesal dengan kenyataan itu.

Begitu bel istirahat berbunyi, sebagian dari kami mulai bersiap-siap mengingat berikutnya adalah PJOK. Aku dan Saras pun beranjak untuk berganti seragam.

“Lesu banget? Padahal habis dapet nilai paling tinggi tadi. Aku sama Brian aja cuma dikasih B.”

Sekali lagi aku mengesah panjang berkat teguran Saras. Menyandarkan diri pada dinding dekat wastafel seraya menunggu antrean karena semua bilik toilet dipakai.

“Kamu percaya, nggak, kalau sebenarnya itu bukan hasil dari kerjaan aku?”

“Maksudnya?”

“Semua dialognya itu buatan Deon. Aku cuma terima beres terus latihan sekitar 3-4 kali aja sama dia.”

Saras menyemburkan tawa sesaat. Melalui pantulan cermin, aku bisa melihat ekspresi Saras atas ucapanku.

“Aku serius.”

“Nggak mungkin.”

“Kan, susah dipercaya, emang. Nggak akan ada yang percaya kalau sebenarnya Deon sejago itu dan bukan karena aku yang ngajarin. Justru dia yang banyak ngajarin aku.”

“Kenapa kamu bisa bilang begitu?”

“Kamu tahu gimana aku bisa dapat nilai 90 waktu ulangan Sejarah kemarin? Karena aku belajar sama Deon. Tapi yang bikin aku kesal, dia malah cuma dapat 65.”

“Bukannya itu bagus? Biasanya dia cuma dapat 40 atau malah kurang dari itu. Bu Lestari aja apresiasi kemajuan dia, lho, meski itu nggak nyentuh KKM.”

“Seharusnya dia bisa dapat lebih dari itu, bahkan lebih dari aku. Waktu belajar sama dia, aku malah lebih banyak dengerin dia yang lebih mengerti sampai bisa dikaitin sama isu yang lagi terjadi sekarang. Deon tuh sebenarnya nggak sebodoh itu. Dia cuma lagi pura-pura.”

Saras menatapku sampai matanya menyipit. Sambil menyandarkan tubuhnya pada sisi wastafel, Saras bersedekap dan memasang raut serius.

“Oh ya? Kalau gitu kenapa dia pakai pura-pura padahal itu sama aja pertaruhin nilai dia sendiri?”

“Aku juga nggak tahu. Dia pura-pura di sini, tapi kalau di luar malah nunjukin kepintarannya.”

“Dan akhirnya dia nunjukin itu ke kamu?”

“Semacam itu.”

“Jangan-jangan dia suka sama kamu.”

“Hah?!” Aku nyaris tersedak saliva sendiri berkat ucapan asal Saras. Temanku itu langsung terkekeh geli. “Sembarangan aja kamu kalau ngomong! Dia begitu juga karena aku mergokin dia lagi ngajarin anak-anak SMP di kafe! Makanya dia akhirnya ngaku dengan ngerjain tugas percakapan aku sama dia!”

“Kafe? Kalian berdua ketemuan di kafe? Ngapain, hayo?”

“Y-ya nggak ngapa-ngapain! Namanya juga nggak sengaja ketemu!”

Saras malah semakin tertawa. Puas sekali sepertinya menggodaku. Lagipula, mengapa tiba-tiba dia berkesimpulan seperti itu mengenai Deon padahal aku lebih memikirkan alasan dia masih berpura-pura di sini?!

“Kalau gitu kenapa kamu nggak coba cari tau? Kamu udah dekat sama dia, mungkin aja nanti kamu bakal nemuin jawaban kenapa dia begitu selama ini.”

“Aku nggak sedekat itu sama dia. Aku juga baru bicara sama dia kan, karena tugas percakapan tadi.”

“Tapi kamu udah buat dia mau sedikit jujur ke kamu. Dan kayaknya nggak cuma itu, deh. Waktu kalian latihan di taman samping sekolah, dia banyak senyum sampai sering ngejahilin kamu. Kayaknya bahagia banget dia sama kamu.”

“Itu karena memang sifatnya suka jahil, kan?” Lekas saja aku menghindari kerlingan mata Saras, bertepatan dengan bilik toilet yang kutunggu sudah kosong. “Aku duluan, ya!”

Begitu mengunci pintu, aku memilih mendudukkan diri di atas kloset yang tertutup. Ada ucapan Saras yang membuatku tercenung dan terngiang di kepalaku hingga detik ini.

Bahagia....

Deon bahkan pernah berkata kalau dia tidak lagi merasakan apa itu bahagia. Jadi sulit untuk disimpulkan bahwa banyak tersenyum seperti yang sudah kulihat merupakan bentuk dari bahagia yang dia cari.

Aku jadi bertanya-tanya, apa yang bisa membuat seorang Deon bahagia pada akhirnya...?