The forced decicion
✎__Dokyeom as Arthur, The Hidden Prince - Pt.18
-panel 2
. . .
Memang pada akhirnya tidak ada yang dapat kulakukan di sini. Sesampainya di kastil, semua orang seakan-akan berlomba menunjukkan perhatian dan kecemasan hingga aku tidak diperbolehkan melakukan sebatas menarik selimut pun.
Di tengah derasnya peduli yang kudapatkan, aku memandangi wajah-wajah mereka yang begitu tunjukkan simpati kepadaku. Apakah mereka juga sudah tahu? Apakah mereka menggunjingku di belakangku? Tapi sepertinya aku memang pantas mendapatkan semua itu mengingat betapa tidak tahu malunya aku menginjakkan kaki di sini….
Kini aku terduduk di sofa kamar ini seorang diri. Mengurung diriku bersama janin yang entah sudah kali keberapa kuelusi dengan perasaan perih.
Hal yang kumengerti adalah aku harus melindunginya. Dan aku tahu bahwa berdiam diri di sini hanya akan melukai martabatnya yang begitu murni. Dia tidak memiliki kesalahan apapun, karenanya cukup aku saja yang menerima pelik ini.
“Suatu hal yang mengejutkan bahwa selama ini Anda tidak pernah sedikitpun ditunjukkan oleh istana. Mengapa Kerajaan begitu melindungi Anda dari masyarakat?”
Pandanganku beralih pada layar televisi yang sengaja kunyalakan untuk mengisi sunyi di ruangan ini. Kini, wajahnya terus menerus menjadi sorotan media dan aku tak dapat menampik bahwa itu cukup mengisi kerinduanku.
Dia selalu tunjukkan senyum terbaiknya, mulai terbiasa dengan ribuan kamera yang selalu mengabadikan tiap gerak-geriknya, dan mulai tunjukkan kewibawaannya yang begitu mengagumkanku.
Aku turut bersyukur melihatnya….
“Ada sedikit cerita pilu di mana ibu saya, Ratu Margaret sedang dalam kondisi tidak bugar saat mengandung saya. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa beliau tidak senang bahwa keadaannya menjadi bahan berita. Karenanya beliau menyembunyikan keberadaan saya sejak awal.”
“Apakah ada alasan khusus mengapa Anda tidak pernah diumumkan oleh Kerajaan mengenai kehadiran Anda hingga kini? Mungkin karena kondisi Anda atau mungkin, karena kesiapan Anda dalam menyapa kami sebagai rakyat kerajaan keluarga Anda?”
“Pada kenyataannya saya tidak dapat memilih sekalipun kehadiran saya menjadi berita sedari awal. Hanya saja keluarga kerajaan begitu memahami keadaan saya yang sempat mengkhawatirkan juga. Karenanya saya bersyukur karena keluarga kami begitu menjaga saya.”
“Bolehkah diceritakan masa kanak-kanak Anda? Karena menurut kabar yang kami terima pun, sebelumnya Anda sempat dipisahkan dari istana? Apakah itu benar?”
Kulihat dirinya yang begitu tenang menanggapi segala pertanyaan mengenai dirinya. Berlatarbelakangkan taman segar yang kuhapal milik Istana Buckingham, Arthur begitu menunjukkan percaya dirinya dalam menjunjung diri sebagai pangeran baru milik negeri ini.
“Saya dilahirkan secara prematur sehingga keluarga kerajaan mengkhawatirkan keadaan saya. Karenanya saya dipisahkan dari istana demi keselamatan saya. Dan, mungkin juga karena pada akhirnya saya tumbuh menjadi anak pembangkang, maka dari itu saya tinggal lebih lama di luar istana.”
Aku tersenyum kecil menyaksikan bagaimana dia mengatakannya dengan nada jenaka sehingga orang yang bersamanya turut terkekeh menanggapi.
“Kelihatannya Anda begitu menikmati kehidupan masa kanak-kanak Anda.”
“Kurang lebih seperti itu. Karenanya saya selalu merengek tiap kali diminta untuk kembali ke istana. Pikiran kekanak-kanakan saya kala itu berkata bahwa menjadi putera raja sepenuhnya pasti akan merepotkan.
“Tetapi seiring dengan dewasanya saya, saya menyadari bahwa kehadiran saya di sini adalah memang untuk mengabdikan diri saya kepada masyarakat Inggris. Saya tidak akan mengatakan bahwa saya menginginkan posisi seperti ayah saya, Raja Addison. Tetapi saya berharap bahwa kedepannya saya bisa menjadi seorang pangeran yang mampu membantu memberikan kontribusi dalam memajukan kesejahteraan negeri ini.”
Bisa kulihat betapa takjub dan kagum menghiasi wajah orang yang terus bersamanya di sana. Dan aku perlu mengakui bahwa dia semakin pancarkan kharismanya sebagai seorang pangeran.
Hatiku berdesir dibuatnya. Bahkan di saat seperti ini, aku tidak mampu mengelak betapa aku semakin jatuh cinta padanya. Namun di waktu bersamaan, di kala tanganku terus memeluk buah hatinya yang berhasil hadir, pedih turut menyiksaku sehingga yang kulakukan adalah menahan tangis menyakitkan.
Aku merasa tak lagi pantas menaruh hati padanya….
“Untuk kali ini Anda berhak untuk memilih tidak menjawab. Kami juga mendengar bahwa Anda sudah bertemu dengan calon pendamping Anda. Bolehkah kami mendengar kisahnya dari sudut pandang Anda bila bersedia?”
Aku menahan napas bagaimana pertanyaan itu akhirnya dilontarkan kepadanya. Melihat reaksinya yang dihiasi kekehan kecil, aku yakin bahwa dia telah memiliki jawaban untuk itu.
“Saya khawatir karena ini sama saja mendahului Pangeran Willard. Dia akan marah karena saya sudah lebih dulu bicarakan soal pendamping hidup sebelum dirinya.” Dia kembali mengundang tawa. “Akan tetapi, saya harus mengakui bahwa saya belum-”
Begitu saja aku mengulurkan remot untuk mematikan layar televisi tersebut. Bukan hanya karena aku tidak siap untuk mendengar jawabannya yang aku tahu bahwa dia tidak akan mengakui keberadaanku, tetapi juga karena aku mendengar ketukan pintu ruangan ini menyusul suara familier teredam di balik pintu tersebut.
“Bella, are you there?”
Dia telah datang. Tentu saja, dia pasti sudah tahu bahwa aku telah melarikan diri dari rumah sakit sehingga aku bisa mendengar kecemasan mengiringi panggilan tegasnya saat ini.
“Bella, just - can you let me in? I want to talk to you - ”
Dia mengatakannya dengan cepat, lalu tercekat seakan menahan sesuatu. Aku memejam kuat disertai hela napas yang terlalu sesak. Aku tahu bahwa bukan pilihan bijak bagiku untuk terus menghindarinya. Dan aku tahu bahwa bersembunyi tidak akan menyelesaikan masalah.
“Bella, open the door, I want to see you … Please?“
Dia mulai mengetahui kelemahanku. Memohon dengan nada mulai putus asa, mengetuk hatiku yang lemah ini dengan ucapan yang sesungguhnya ingin sekali kudengar langsung di depan wajahnya.
Maka kuberanikan diri menghampiri pintu kamar ini untuk kemudian kubuka perlahan. Bertemu dengan sosoknya yang telah berdiri menungguku, mendapatiku segera dengan sorot bercampur yang aku sendiri tidak berani untuk menjabarkan.
“You shouldn't leave the hospital.“
Teguran yang diiringi kesah kecemasan yang begitu kental di suara lembutnya. Tangan-tanganku mengepal di tiap sisiku, menahan napas namun tak pelak aku tetap terhanyut kala rengkuh tangannya hadir di wajahku, merasakan belai lembut ibu jarinya di pipiku.
“You little wayward, why you always make me worry?” kesahnya diiringi senyum kecil yang bahkan mampu kunyatakan bahwa dia tak sanggup untuk memarahiku. “I don't even think it's good to ask if you're okay right now.“
Aku masih tidak bicara. Hanya mataku yang berbicara padanya. Mengatakan betapa aku begitu kesakitan dan ketakutan. Betapa aku ingin sekali berteriak bahwa aku amat membutuhkannya, membutuhkan pelukannya….
“I'm sorry that I wasn't next to you again. I'm sorry I didn't treat you well. But - ” Dia menarik napas dengan kecemasan kian membumbung di binar matanya. “Please don't force yourself again like this. I don't - I can't see you get hurt. Both of you.“
Pedih kembali kurasakan di mataku. Ketika dia mengikis jarak di antara kami, menyisakan sejengkal celah di mana aku semakin tidak kuasa menahan keinginanku untuk bersandar padanya.
Sehingga aku putuskan pandangan kami, melangkah mundur, lalu meraih tangannya untuk kulepaskan dari wajahku.
“Maafkan saya karena sudah membuat Anda khawatir. Saya ternyata belum bisa menjaga diri saya dengan baik.”
Aku tidak berani melihat reaksinya saat ini.
“Maafkan saya karena tidak pernah mengetahui semuanya. Saya…, saya tidak mengira bahwa keluarga saya sudah menorehkan luka sedalam ini kepada kerajaan. Saya merasa rendah karena sudah mempertahankan diri saya di sini.”
“Bella - ”
Ketika dia mendekat lagi, aku mundur hingga kini punggungku menyentuh gagang pintu kamarku. Aku bisa melihat gerak tubuhnya yang terhenti akan reaksiku. Dan aku semakin tidak berani menatapnya saat ini.
“Saya merasa malu untuk sekadar mengangkat kepala saya setelah mendengar semuanya. Tapi saya mulai mengerti bahwa sesungguhnya saya memang harus menanggung semua itu sebagai bentuk hukuman keluarga kerajaan untuk Garcia - ”
“It's not your fault, Bella,” sambarnya begitu cepat. “Itu kesalahan mereka dan bukan kewajibanmu untuk merasa bersalah apalagi menanggung semua itu. Apapun yang kaupikirkan saat ini - ”
“Tidakkah Anda menyetujui pernikahan ini karena Anda pun menganggap demikian?” potongku yang tidak kusangka akan dikembalikan olehnya dengan cepat pula.
“Bukankah itu berarti aku juga? Karena aku adalah aib di sini, itu berarti bahwa kita sama-sama menanggung dosa mereka akibat dari kemarahan Raja Abraham, benar begitu?”
Aku tidak dapat mundur lagi. Aku dapat merasakan suaranya memberat disertai napas yang turut tertekan oleh situasi saat ini.
“Benar. Kita terjebak di sini dan aku mengerti kegelisahan maupun ketakutanmu. Tapi satu yang perlu kau ketahui bahwa di sini, aku tidak sedikitpun berpikir bahwa kau yang bersalah di sini. Bahkan jika seluruh dunia menganggap kau adalah orang yang paling bersalah di sini, aku akan menjadi satu-satunya yang berada di pihakmu.”
Aku ingin percaya padanya. Aku ingin memeluk kata-katanya untuk menenangkanku, tetapi kenyataan diriku yang bahkan sudah dibenci sejak memasuki dunianya sudah lebih dulu mengalahkannya.
“Bella…,” panggilnya kini seraya meraih tanganku. Menggenggamku lembut namun ada ketegasan di sana. “Apapun yang sedang kaupikirkan saat ini, jangan pernah dengarkan. Biarkan aku yang menanggung dan aku bereskan semuanya. Aku mohon - ”
Aku menggigit bibirku menahan dorongan sakit di tenggorokanku. Ucapannya terhenti sebagaimana denganku menunduk dalam.
“Apapun yang coba Anda katakan tidak akan mengubah kenyataan bahwa seharusnya saya tidak berada di sini. Saya meminta maaf karena kehadiran saya di sini justru semakin mempersulit Anda bahkan membuat Anda harus menghadapi semua ini.”
“Apa yang kau bicarakan - ”
“Yang Mulia Ratu Margaret pernah berkata bahwa saya harus segera memberikan keturunan pada Anda. Tetapi setelah semua ini, saya merasa tidak lagi pantas untuk membahagiakan Anda mengingat darah Garcia akan mengalir di kerajaan ini. Saya tidak boleh menodai kemuliaan keluarga Rodriguez dengan kehadiran kami di sini.”
“Bella, no, just don't - “
“Saya akan menerima hukuman apapun yang hendak Anda maupun Kerajaan berikan. Karena itu izinkan kami keluar dari sini. Saya berjanji tidak akan menuntut apapun dari Anda maupun Keluarga Rodriguez mengenai keberadaan bayi ini.”
Pada akhirnya, aku beranikan diri untuk mencari tatapannya. Membiarkan hatiku terkoyak menemukan adanya ketakutan menyala di sana, dan aku kian berdarah ketika suaraku penuh gemetar mengatakan hal yang pastinya akan turut menyakitinya.
“Tolong ceraikan saya, Arthur….”
-to be continued...