The Hidden Prince

Dokyeom short narration

•••

Munafik sekali jika aku tidak mengkhawatirkan masa depanku. Setelah hidupku hanya berkutat dalam tiap arahan kedua orangtua, di usiaku yang sudah memasuki kepala dua ini masih harus bergantung pada putusan Ayah dan Ibu.

Bagaimana caranya keluar dari sangkar menjemukan ini? Tidak bisakah aku bebas barang sejenak saja?

Hingga ragaku duduk dengan anggunnya di sini, aku masih tidak percaya bahwa ayahku membuat keputusan yang semakin mengaburkan masa depan impianku. Tapi apa yang bisa kulakukan, memangnya?

Membantah sama saja dengan membunuh diriku sendiri.

“Pangeran akan datang terlambat karena masih menghadiri rapat di Istana Buckingham. Mohon maafkan keterlambatan kami dalam memberi kabar.”

Ucapan sang kepala pelayan di kastil ini. Kalau tidak salah ingat, dia bernama Nicholas. Ya, benar, Sir Nicholas.

“Jadi, apa saya tetap harus menunggu atau pulang setelah ini?”

“Karena kami tidak dapat memastikan kapan tepatnya Pangeran akan kembali, maka keputusan ada pada Anda. Tapi kami akan dengan senang hati melayani Anda bila ingin menyamankan diri di sini lebih lama.”

Sepiring roasted meat yang belum kusentuh sama sekali ini bahkan tidak menggugahku untuk berlama-lama di ruang makan ini. Maka kubawa kembali kedua tanganku ke pangkuan sebelum mendongak.

Well, kalau begitu bolehkah saya mengambil waktu untuk melihat isi kastil ini? Saya dengar bahwa taman di belakang sana sangat nyaman untuk bersantai sejenak.”

Sir Nicholas tersenyum seraya mundur selangkah, membuka tangannya mempersilahkan, “Tentu saja, Tuan Putri.”

Kuikuti saja ke mana dia mengantarku. Fokusku lebih banyak pada mengatur gaunku yang sesungguhnya tampak berlebihan. Vintage dress merah marun berlengan panjang namun masih menonjolkan dada atas hingga bahuku ini lebih cocok dikenakan untuk acara formal malam. Tapi Ibu mengatakan bahwa aku harus memberi kesan pertama luar biasa.

Kini aku harus menjinjing sedikit gaunku yang panjangnya sudah menyentuh lantai ini agar aku tidak terjatuh memalukan. Untungnya keresahanku soal kostum segera sirna begitu melihat pemandangan indah yang kucari.

Sir Nicholas membebaskanku untuk mencuci mata, bahkan beberapa petugas yang tengah menyiram maupun memotong dedaunan itu segera undur diri. Aku menelusuri jalanan konblok yang rapi ini demi memasuki taman lebih jauh lagi.

Ibu pernah berkata bahwa ia mendambakan lahan semacam ini untuknya bisa berkebun. Ibu begitu mencintai bunga tapi sayang tanah di belakang rumah sederhana kami begitu tandus.

Terkadang aku tidak bisa sampai hati mengecewakan Ibu. Segala perintah yang dikeluarkan oleh Ayah tidak lain membawa harapan Ibu juga. Bagaimana mungkin aku menolak?

Do you like it, Princess?

“Astaga!”

Entah berapa lama aku tenggelam oleh pikiran sendiri sampai tidak menyadari kedatangan seseorang di belakangku. Oh, sialnya, dia memergokiku yang tengah mengulurkan tangan membiarkan kucuran air mancur itu membasahi tanganku. Sungguh perbuatan tidak sopan!

Emm, ya, tempatnya sangat indah. Saya sampai terlena dan tidak menyadari tangan ini sudah lancang menyentuhnya,” jawabku gugup bukan main dan tidak dapat mengontrol diri kala sebuah sapu tangan datang ke hadapanku.

“Gaun Anda terlalu cantik jadi baiknya gunakan ini.”

Aku semakin salah tingkah sebab tanganku yang basah ini sudah terlanjur menjadikan gaunku sebagai handuk. Tawa sumbang keluar begitu saja dari mulutku seraya menerima pemberiannya dengan kikuk.

“Terima kasih. Saya akan segera mengembalikannya nanti.”

“Tidak perlu. Anggap saja itu setitik buah perkenalan sebelum membicarakan soal pernikahan kita nanti.”

Aku tertegun bersamaan dengan jantungku mencelus hebat. Bagus sekali, sudah berbuat lancang, aku juga sudah bertindak tidak sepantasnya di hadapan pria yang baru kusadari sebagai calon suamiku kelak!

“Ka-kau apa?”

Terkutuklah mulutku yang lancang bersuara ini. Berani sekali aku mengucap kalimat tidak sopan itu di depan seorang pangeran?!

Tapi bukan sepenuhnya kesalahanku juga lantaran hampir tidak pernah melihat sosoknya karena ia dikenal sebagai pangeran tersembunyi di negeri ini. Entah apa alasannya.

Sehingga baru kali ini aku melihat rupanya yang seketika merenggut sebagian akalku sampai-sampai aku nyaris lupa untuk bernapas!

“Yang Mulia Pangeran. Maafkan atas ketidaksopanan saya—”

Baru saja merendahkan tubuh demi memohon ampun, sentuhan halus kurasakan di tanganku. Menyentakku yang sempat menundukkan pandangan untuk bersitatap dengan obsidian kelam yang bagai tersenyum mengikuti lengkungan indah di bibirnya.

“Bukan salahmu karena aku memang tidak memperkenalkan diri terlebih dulu. Maaf.”

Suaranya begitu menenangkan. Pun sorot pandangnya yang lugas seperti tengah memberikan pesona yang membuatku berdesir dengan lancangnya.

I am Prince Arthur,” ucapnya. “For you, just call me Arthur, Princess Bella.”