This is me trying
Arthur, The Hidden Prince - Pt.19
. . .
“Dia terlihat cukup sehat. Dia pasti merasa nyaman sekali berada bersama Anda.”
Pujian yang sedikitnya membuatku tersenyum. Tangan-tanganku berusaha untuk tetap tenang, tetapi sepertinya sulit untuk tidak terus-terusan mengepal atas usahaku menahan tangis.
Menyaksikan layar kecil yang tengah menampilan penampakan buah hati yang telah tumbuh sebesar buah jeruk di dalam perutku.
“Detak jantungnya pun sangat stabil. Sangat menakjubkan karena dia begitu kuat bersama sang ibu.” Wanita bersneli putih itu tak lelah memberikan senyum apresiasi kepadaku di tengah menggerakkan transducer di permukaan perutku. “Dia pasti akan tumbuh menjadi anak yang kuat.”
Entah apakah dia mengatakannya dengan sungguh-sungguh atau sekadar menghiburku, tetapi aku tetap menunjukkan senyum berterima kasih atas segala sanjungannya.
Sesi kontrol yang lagi-lagi menyentuh hati kecilku hingga berkali-kali pula aku harus menguatkan diri. Aku berusaha untuk tetap tenang dan menunjukkan bahwa aku bahagia. Aku hanya mengajukan keluhan selayaknya yang dialami oleh para ibu hamil kebanyakan lalu mendapat masukan seperlunya.
Tetapi sepertinya, aku masih terlalu jelas menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya. Sehingga sang dokter kandungan yang sudah beberapa kali menanganiku kini menatapku dengan serius.
“Saya cukup memahami bahwa kesendirian Anda saat ini mungkin terasa sulit. Tetapi saya harap Anda tetap menjaga kesehatan dan ketenangan Anda. Mungkin untuk kedepannya, Anda bisa datang bersama pendamping agar ada yang memahami keperluan Anda dan Anda tidak menanggungnya sendirian.”
Tangan-tanganku mengepal di pangkuan. Masih berusaha tetap tegar dan mengangguk kecil seakan itu bukan suatu masalah serius.
“Perhatikan pola makan dan perbanyak istirahat. Mulailah kurangi kegiatan agar Anda tidak mudah kelelahan. Jatuh pingsan yang pernah Anda alami adalah salah satu akibat dari Anda terlalu memaksakan diri.”
Kini aku meringis malu. Mengingat kejadian yang pernah menimpaku di awal-awal aku pindah kemari, rasanya cukup memalukan sebab di situlah aku mulai mendapat pertanyaan mengapa aku seorang diri dan aku harus membuat cerita bahwa aku sudah pisah ranjang dengan suamiku.
Walau memang kenyataannya seperti itu.
Sepanjang sesi konsultasi yang akhirnya membawaku pada keputusan bahwa aku perlu menjalani kontrol tiga minggu lagi, aku terus mengusapi perutku yang memang sudah kurasakan betapa ia mulai berkembang di dalam sana. Sungguh, untuk saat ini aku hanya menginginkan yang terbaik baginya sehingga aku terus berusaha memastikan dia masih menjadi alasanku untuk tetap melangkah maju.
Begitu keluar dari ruang pemeriksaan, aku disambut oleh senyum hangat wanita yang sedari tadi menunggu. Wanita yang sudah menemaniku belakangan ini, bahkan bersedia merawatku di saat aku begitu kehilangan arah hingga aku merasa sedikit lebih baik untuk sekarang.
“Apakah semuanya baik-baik saja?”
Aku mengangguk diiringi senyum kecil untuk Madam Lily yang lekas menggamit lenganku.
“Sungguh baik-baik saja?”
Madam Lily selalu mengulang pertanyaannya hanya demi memastikan bahwa aku berkata jujur. Mungkin karena aku sudah terlalu banyak menyembunyikan rasa sakit seorang diri, Madam Lily tidak dapat sepenuhnya langsung percaya dengan tiap jawaban yang kukerahkan.
“Semuanya baik-baik saja, Madam Lily. Dia tumbuh dengan sangat baik dan Dokter mengatakan bahwa saya sudah bisa melihat jenis kelaminnya tiga minggu lagi.”
“Oh, thank goodness. Sepertinya di saat itu aku harus ikut masuk ke dalam agar tidak terlambat terkejut mendengarnya.”
Aku terkekeh menanggapi ucapan seriusnya. Lalu beliau turut mengusapi perutku, mematri antusias di wajahnya yang sudah paruh baya namun masih begitu bugar itu ditujukan kepadaku. Kepada kami.
“Kau harus tumbuh menjadi anak berbakti karena ibumu sudah berjuang untukmu, Nak.”
Sekali lagi, aku terkekeh pada Madam Lily yang berbicara pada perutku. Lalu ia membawa tanganku ke dalam lingkup genggam hangatnya, mendongak padaku yang memang sedikit lebih tinggi darinya dan tak lupa senyum sehangat ibu merekah di bibirnya.
“Tidak disangka bahwa aku akan berada di masa bisa menemanimu seperti ini.” Madam Lily kemudian menangkup sisi wajahku agar ibu jarinya membelaiku lembut. “Kau benar-benar hebat karena sudah berada di sini, Bella. Kau akan baik-baik saja dan percayalah padaku; kau bisa melewati semuanya.”
Aku berusaha untuk tidak menangis mengingat kami masih berada di rumah sakit. Kupegangi tangan Madam Lily yang masih setia menopangku, satu-satunya tangan yang masih bersedia memelukku di saat sesungguhnya aku masih begitu rapuh untuk saat ini.
Rasanya menakjubkan sekali bahwa aku berhasil sampai di sini. Mungkin karena semesta sedang berpihak kepadaku sehingga semuanya terasa begitu lancar sekaligus asing.
Aku sudah singgah di rumah Madam Lily. Di sudut kota kecil Avon dan berdampingan dengan bentangan sungai yang mengalir tenang. Konon, sungai ini menjadi salah satu destinasi wisata kecil sehingga tak pelak aku akan menemukan perahu-perahu kecil yang didayung santai akan melewati rumah ini, tepatnya di akhir pekan.
Dan itu sudah menjadi pemandangan kesukaanku selama hampir dua bulan menetap di sini.
“Menyingkirlah, Princess Bella. Berapa kali kukatakan padamu untuk tidak menyentuh daerah kekuasaanku?”
Aku hanya menunjukkan cengiran atas teguran lugas Madam Lily muncul bersama wujudnya yang tengah memasang sarung tangan sebelum membuka oven. Aku tidak punya pilihan selain menyingkir dan menyaksikan beliau mengambil baking tray besar berisikan potongan-potongan chocolate cookies yang cukup besar.
Madam Lily gemar sekali memasak sehingga tak terhitung lagi berapa banyak jenis masakan yang masuk ke mulutku. Beliau selalu memastikan aku tidak melewatkan waktu makan, bahkan aku dipaksakan menyantap tiga suap minimal meski aku tidak berkenan.
“Ibu hamil tidak boleh mengosongkan perutnya karena sekarang dia tidak lagi sendiri. Jika kau tidak mau makan, ingatlah bahwa anakmu di dalam sana sedang kelaparan,” begitulah kalimat andalan Madam Lily saat mengomeliku jika aku tak bisa menemukan nafsu makanku.
“Aku akan memetik jamur setelah ini dan kau!” Madam Lily menunjukku, menahanku yang sudah bersiap-siap untuk mengikutinya dalam tudingan tegasnya, “Tetaplah di sini dan istirahatkan tubuhmu, Princess Bella. Aku sungguh melarangmu keluar dari kediamanku kecuali kau memang ingin aku mengikatmu di dalam kamar.”
Lagi, aku terkekeh atas omelannya dan mau tidak mau aku menurut padanya. Bukan maksudku untuk tidak mendengar titahannya. Hanya saja, aku sudah sangat merepotkannya sehingga rasanya tidak tahu diri sekali jika aku hanya bersantai di sini.
Madam Lily ternyata memiliki ladang pertanian yang masih sering dia kerjakan dengan kedua tangannya sendiri. Beliau menceritakan bagaimana hasil pertaniannya akan dikirimkan ke pasar-pasar terdekat dan itu sudah sangat mencukupi kebutuhan hidupnya yang menurutnya sangatlah sederhana.
Menjaga kediaman lama Arthur sudah menjadi pekerjaan sampingannya. Hanya sesekali dia akan datang untuk sekadar memeriksa keadaan sebelum kembali pulang kemari. Madam Lily bilang, dia akan selalu siaga karena mungkin saja Arthur akan pulang ke sana untuk menumpahkan rindu masa kecilnya.
Arthur..., apakah dia baik-baik saja...?
Dua bulan berlalu secara mengejutkan dan aku masih tidak percaya bahwa aku meninggalkan kastil serta kehidupan lamaku semudah itu. Aku bahkan tidak berpamitan secara langsung pada Ibu dan sehingga beliau berulang kali mencoba menghubungiku. Mengirim banyak pesan singkat yang mengatakan bahwa beliau merasa bersalah sekaligus merindukanku.
Aku tahu bahwa keputusanku mungkin telah merugikan banyak orang. Tetapi aku sungguh memerlukan waktu untuk mencerna semuanya seorang diri. Walau sebenarnya, aku tidak dapat menampik bahwa wajahnya masih dan terus membayangiku di tiap tidurku.
Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana obsidian kelamnya memancarkan pilu mendalam. Masih ingat bagaimana dia terus menggelengkan kepala menolak permintaanku yang tidak kuhiraukan kala itu. Dan aku masih ingat bagaimana dia terus memohon dalam memanggil namaku di tiap ketukan pada pintu sementara aku menangis kesakitan di baliknya.
Aku telah mengingkari janjiku di malam itu.
Mengingkari tekadku untuk tetap bertahan di sisinya.
Mengingkari sumpahku sendiri untuk tidak lagi melepaskannya.
Aku telah menghancurkan ikatan suci yang kuharapkan berlangsung selamanya ini karena ketidakberdayaanku dalam menampung semua nasib yang dijatuhkan kepadaku.
Dua bulan berlalu semenjak aku berhasil keluar dari kastilnya, selama itu pula aku berharap dia sungguh mengabulkan permintaanku.
Dia tidak mengejarku, tidak pula mencariku yang sesungguhnya membuatku berpikir bahwa dia memang telah menyerah. Tetapi itu tidak sertamerta membuatku tenang.
Aku sendiri tidak memahami arti dari kegelisahanku. Apakah karena aku merindukannya? Ataukah karena dia ternyata tidak memperjuangkanku? Atau karena dia tidak kunjung menyatakan bahwa dia bersedia berpisah dariku...?
Semua itu bercampur aduk hingga kini aku memegangi kepalaku yang mendadak pening.
Terlalu banyak memikirkan hal yang membuatku menangis lagi hanya akan berakhir merepotkan diriku sendiri. Aku tidak boleh membuat Madam Lily khawatir dan mengomeliku lagi....
“Apakah Anda berdua memiliki selera yang sama? Mungkin bisa diceritakan dari segi hobi atau ketertarikan pada sesuatu?”
Niatku untuk mengistirahatkan pikiranku justru sirna. Baru saja mendudukkan diri pada sofa ruang tengah, aku harus terdiam kaku menyaksikan sosoknya muncul paling pertama begitu televisi dinyalakan.
“Arthur...,” bahkan hanya dengan mulutku menggumamkan namanya, hatiku bergolak tak mampu berbohong bahwa aku memang merindukannya.
Seperti biasa, dia begitu menawan. Membuat jantungku dengan lancangnya berdebar lantaran lagi dan lagi, aku jatuh hati hanya dengan melihat rupanya. Aku begitu lancang mengagumi senyumnya yang secerah mentari hingga terlalu cepat menghangatkan pipiku.
Namun hal yang lebih mengejutkan dari semua itu adalah dia lemparkan reaksi tersebut pada pria yang turut duduk di sampingnya; Pangeran Willard, dengan gestur yang bagai mengatakan bahwa mereka baik-baik saja.
“Saya rasa kami memiliki banyak kesamaan karena hampir menghabiskan masa kecil bersama-sama. Seperti berlatih bela diri bersama, berlatih anggar, berlatih—”
“Bukankah kita ditanyakan soal hobi bukan rutinitas bersama?”
Tawa geli mengalun di studio rekaman itu. Aku pun mendengkus lalu tersenyum tidak percaya bahwa mereka akan menunjukkan keakraban yang entah itu memang sungguh-sungguh, atau hanya sandiwara.
“Aku rasa dengan adanya rutinitas itu bisa berakhir menjadi sebuah hobi. Apakah kau tidak menyukai berkuda pada akhirnya?”
“Mungkin lebih kepada aku suka saat kita akan bertaruh siapa yang lebih dulu dipanggil oleh Ibu karena kita sama-sama melarikan diri saat hendak latihan berkuda.”
“Ya, tapi kita sama-sama tahu bahwa sesungguhnya Ibu akan selalu memanggil kami dari yang tertua dulu jadi kau akan menceburkanku ke kolam lalu melarikan diri tanpaku.”
Tawa renyah mengalun nyaring di antara mereka. Baik dirinya maupun Pangeran Willard tak segan untuk saling menepuk bahu layaknya kakak beradik yang begitu akrab dan senang melempar canda-tawa. Apapun intensi di baliknya, aku turut senang melihat mereka bersedia datang dan memberi impresi baik kepada publik.
“Oh, mungkin soal selera musik. Arthur mempunyai selera musik yang cukup unik karena dia lebih senang mendengarkan musik tahun 90-an. Sedangkan saya mengikuti pop masa kini.”
“Lebih tepatnya Kakak senang mendengarkan musik balada sampai terkadang aku berpikir apakah kau sedang putus cinta atau apa.”
“Balada tidak selalu tentang putus cinta, Arthur. Bisa juga karena sedang meratapi hidup.”
“Oh, apakah ini sebuah petunjuk kalau—”
“Tidak, tidak, jangan asumsikan apapun.”
“Dia hanya terlalu gugup karena aku sering mendengar keluhannya.”
Aku turut terkekeh menyaksikan perdebatan kecil mereka kembali mengundang tawa. Pangeran Willard bahkan tidak segan meninju pelan bahu Arthur yang malah membuatnya semakin tergelak seakan begitu puas menggoda saudaranya itu.
Mereka terlihat berkharisma dan akur sekali....
“Kalau begitu, apakah mungkin Anda berdua memiliki kesamaan dalam mencari tipe ideal untuk pendamping di kemudian hari?”
Pertanyaan yang sedikitnya menimbulkan sorak kecil di antara mereka yang seketika saling bertukar tatap.
“Wow, pertanyaan yang kita tunggu-tunggu.”
“Dia terlalu bersemangat karena baru dikenalkan dengan seseorang.”
“Arthur!”
“Sorry, Brother, we should face this together. I can’t handle it alone.”
Mereka kembali tertawa yang menular pada sang pembawa acara. Sedangkan aku perlu mencerna pembicaraan mereka kali ini yang kelihatannya memang saling menyimpan rahasia sama.
“Jadi, dari mana kita harus memulai?”
“Aku rasa Arthur harus membayar ini karena dia yang memulainya terlebih dahulu.”
“Brother, that’s not fair!”
“It would be fair if you told us first since I respect my brother who is missing his darling.”
Lalu studio berubah heboh mengiringi ucapan Pangeran Willard yang sudah senyum lebar dan penuh arti. Mendukung Arthur yang tiba-tiba seperti kehilangan kata meski masih tertawa, salah tingkah.
“Jadi yang pernah dikatakan oleh Pangeran Arthur adalah benar?”
“Sepertinya dia harus mengatakannya lebih jelas agar tidak ada lagi rumor aneh beredar.”
Rumor...?
Rumor apa? Apakah aku melewatkan sesuatu?
Memangnya dia pernah mengatakan apa sebelum ini…?
“Saat itu saya memang belum bisa mengatakannya secara gamblang karena saya ingin menjaga privasinya. Tetapi, itu memang benar bahwa saya sudah menemukan pasangan dan saya harus mendahului Pangeran Willard yang masih senang sendiri.”
Bahkan sang pembawa acara tampak terkejut atas pengakuannya. Sementara dia bersama Pangeran Willard hanya tersenyum seakan memang seperti ini jalan segmen yang mereka rencanakan.
Apa yang sedang dia pikirkan? Mengapa dia harus mengatakan hal itu...?
“Saya harus mengakui bahwa warga Inggris sangatlah pandai dalam menggali informasi yang ingin mereka ketahui. Tetapi sedikit membingungkan karena tiba-tiba muncul berita bahwa kami memperebutkan satu perempuan.”
“Itu sangat tidak benar karena perlu diketahui bahwa Arthur sangat memperhatikan kenyamanan pasangannya. Jadi saya pun hanya beberapa kali bersapa dengannya.”
“Bisa diceritakan sedikit bagaimana sosok pasangan Anda, Pangeran Arthur?”
“Tentu saja dia perempuan luar biasa. Dia memiliki ketertarikan pada bunga karena dia adalah seorang florist dan bagi saya, dia adalah filosofi cinta yang saya idamkan karena dia jauh lebih indah daripada bunga-bunga yang sudah dia pegangi.”
Jantungku berhenti berdetak untuk beberapa saat mendengar penjelasan lugasnya.
Apakah dia diperkenankan mengatakan itu? Tidakkah dia berpikir bahwa ucapannya mampu memicu berita baru kedepannya?
Bagaimana jika setelah ini dia mendapat amarah dari Ratu Margaret?
“Dia sedikit keras kepala, tetapi sesungguhnya karena dia terlalu memikirkan kepentingan orang lain sehingga terkadang itu membuat saya begitu frustasi jika dia mulai melarikan diri. Walau begitu, caranya justru membuat saya sungguh-sungguh jatuh cinta padanya.”
Apa yang dia bicarakan...?
Dia... dia sedang membicarakan aku...?
“Apa maksud Anda dalam melarikan diri? Apakah pasangan Anda sering menjauh dari Anda?”
“Ini akan terdengar klise tetapi pada kenyataannya, dia perempuan yang tidak terbiasa dengan kehidupan yang saya jalani. Ada banyak perbedaan yang membuatnya merasa terpaksa untuk bisa sejajar dengan saya dan saya tidak senang melihatnya tersiksa seperti itu. Karenanya saya selalu berusaha datang sendiri dan mengejarnya dengan cara saya sendiri pula.”
“Lantas bagaimana Anda bisa meyakinkan dia untuk akhirnya bersedia bersama Anda?”
Dia tidak langsung menjawab. Menciptakan hening yang membuatku menahan napas terlebih kemudian, dia menunjukkan seutas senyum yang menohokku sebab aku tahu artinya....
“Sesungguhnya saya belum bisa meyakinkannya karena saat ini dia masih menjauh dari saya.” Dia membuat jeda untuk mengambil napas. “Saya telah membuat kesalahan sehingga untuk saat ini, saya tidak dapat melakukan apapun selain membiarkannya pergi dari saya.”
Lalu hening kembali mengalun, kali ini terasa lebih senyap sebab tidak ada interupsi dari siapapun seakan membiarkannya larut dalam suasana yang mendadak berubah kelabu. Mungkin, mereka juga terkejut dengan pengakuannya, termasuk aku.
Sehingga menyambarku untuk turut merasakan sesak yang entah mengapa, itu terbaca jelas di wajahnya meski dia berusaha menyembunyikannya dengan senyum.
“Saya ingin meminta maaf padanya karena telah menempatkan dirinya di situasi yang membingungkan. Pertemuan kami bisa dikatakan terjadi di waktu yang salah sehingga saya harus membuatnya kewalahan karena posisi saya saat ini. Dan….”
Dia membasahi bibirnya. Sedangkan aku menggigit bibir menahan gelegak menyakitkan di tenggorokanku. Menyaksikan dirinya ternyata sedang berusaha tegar di balik tiap kata yang terucap dengan suaranya yang memberat parau....
“Saya ingin dia tahu bahwa sesungguhnya, saya pun kewalahan di saat saya sudah berjanji untuk terus menjaganya. Dan sekarang, saya harus menanggung rasa bersalah luar biasa karena harus merelakannya pergi hanya agar dia hidup lebih baik dan tenang.”
Mataku memanas begitu saja. Tidak kuasa melihatnya tak lagi segan menunjukkan kelemahannya di depan banyak pasang mata. Dengan menyatakan kejujuran yang terlalu mudah menyayat hatiku hingga perih seketika merebak basah.
“Jadi, Anda sudah merelakan dia…?”
Sang pembawa acara bertanya hati-hati. Di mana itu membuat jantungku yang sudah berdenyut sakit semakin ketakutan menunggu jawabannya.
“Rasanya tidak tepat jika mengatakan bahwa saya sudah merelakannya, karena saya tidak pernah menganggap bahwa hubungan kami selesai. Saya hanya memberi kami waktu untuk menenangkan diri. Entah sampai kapan. Mungkin sampai akhirnya saya tidak lagi dapat menahan kerinduan saya padanya.”
Jika dia mengatakannya diiringi kekeh berat bagai menyemangati diri, lain denganku yang justru berdesir hebat mendengar pengakuannya.
Jadi, dia tidak sepenuhnya menyetujui permintaanku untuk berpisah darinya…?
Apa yang kupikirkan bahwa dia menyerah soal aku itu ... adalah salah?
“Bella…”
Aku terhenyak, merasakan jantungku sekali lagi terjun lalu bergolak di perutku lantaran menyadari bahwa dia baru saja memanggilku.
Dia menyebut namaku....
“I wish I could make it up faster but I know that you've been in too much of a rush when we were together. So just take your time until I can find you again. Until I can say many things to you when I finally meet you again.”
Aku membekap mulutku. Tidak percaya bahwa dia akan sungguh mengatakannya di sebuah acara ternama, bahkan disaksikan oleh banyak orang, oleh para masyarakatnya, termasuk aku di sini....
“I just want you to know that I'm still trying to fix everything so you can come back to me with your lovely, and enchanting smile. And please never think that I really let you go.”
Mataku mengabur oleh perih merebak yang terlalu cepat meleleh. Sebagaimana dengan pengakuannya yang terlalu sulit untuk mampu kucerna bahwa dia—sungguh—melakukannya dengan frustasi yang terbalut oleh ketulusan yang terlalu keras menamparku.
“I will come to you and take you back to my side again.”
Tangisku pecah seketika, melebur bersama hatiku yang luluh lantak atas guncangan yang dia berikan melalui tiap kata lembutnya.
Betapa sesungguhnya dia masih mempertahankanku dengan caranya.
Betapa sesungguhnya dia masih menggenggamku dengan caranya.
Betapa sesungguhnya dia memiliki rasa yang sama menyiksanya seperti yang telah menggerayangiku selama ini.
“I miss you, Bella.”
Merindukannya hingga begitu menyakitkan....
—to be continued