To take a rest
Arthur, The Hidden Prince – Pt.8
Demands – Panel 1
•••
Begitu familier tetapi juga asing secara bersamaan. Itulah yang menghantamku pertama kali membuka mata.
Aku mengenal tempat ini, tetapi aromanya sedikit bercampuran. Ada wangi viola, jasmine, juga obat-obatan yang lambat laun membuatku ngilu. Sebab pandanganku terpaku pada kantung cairan yang menggantung tak jauh dari atas kepalaku dengan selangnya menjulur terpendam di tangan kiriku.
“You awake.”
Hal mengejutkan bagiku lantaran mendapati sosoknya lekas duduk di sampingku. Menyadarkanku bahwa pandanganku tak fokus dan terlalu buram untuk lekas mengenali wujudnya.
Ada apa denganku...?
“Kau cukup keras kepala, Bella. Beruntung rasa khawatirku mengalahkan kemarahanku karena melihatmu tak sadarkan diri semalam.”
“S-saya...,” suaraku nyaris menghilang. Aku lantas memejam ketika tangannya hinggap di dahiku, bergerak mengusap ke kepala terlampau lembut. “Sa-saya sudah membuat kekacauan...?”
“No. But you messed me up.”
“Maaf….”
Ingatanku perlahan kembali. Ketika pesta berakhir, keadaanku memang semakin memburuk. Semua terasa bergoyang dan aku mencoba bertahan selama perjalanan pulang. Namun sayangnya aku tidak berhasil.
Aku jatuh lalu semuanya berubah sangat gelap. Samar-samar kudengar suaranya yang berat memberi titahan tegas. Ada kepanikan dan sedikit gaduh di sekitar, tetapi aku tidak merasa terusik melainkan kenyamanan yang terlalu cepat melingkupi.
Dia mendekapku, membawaku ke dalam gendongannya bahkan sempatkan membisikkan kata-kata bahwa aku akan baik-baik saja. Kemudian aku tidak mendengar apapun lagi seakan aku terlelap dengan nyenyaknya.
“Demammu cukup tinggi. Dokter mengatakan bahwa kau kelelahan dan terlalu banyak pikiran. Jadi kau harus beristirahat penuh beberapa hari.”
Oh, bagus sekali. Hari pertama menjadi istri dari seorang pangeran diisi dengan terbaring tak berdaya?
“Beberapa hari itu berapa lama…?”
“Until you really get better,” jawabnya cukup lugas. “Semua keperluanmu akan dilakukan di sini jadi jangan sekalipun keluar dari kamar ini. Sampai Dokter mengatakan bahwa kau sudah sembuh.”
“Tapi bagaimana—”
“Tidak ada bantahan, Bella,” sambarnya cukup tegas meski nadanya masih begitu halus. “Mulai saat ini, jangan membantahku selama aku melakukannya demi kebaikanmu. Jangan pikirkan apapun yang berujung membebanimu. Berbagi denganku bila perlu. Aku akan lebih senang jika kau melakukannya.”
Tutur katanya begitu lembut seperti magis yang tak dapat kupatahkan. Dia seakan tahu bahwa aku terlalu lemah diperlakukan seperti ini sehingga yang bisa kulakukan hanyalah mengangguk perlahan. Di mana selanjutnya aku melihat senyum terbit di bibirnya seakan puas dengan responsku.
“It’s still two o’clock. Go back to sleep.”
Sertamerta aku mengernyit kaget lantaran melihat penampilannya yang masih sama saat terakhir kali kami keluar dari ballroom. Hanya tuksedonya yang sudah tanggal, menyisakan kemeja putih membalut sedikit kusut dengan tersingsing di bagian lengan juga dua kancing teratas terbuka.
“Anda juga perlu beristirahat. Anda bahkan belum—”
“I’m totally fine, Bella. Aku bahkan tidak memikirkan apapun selain dirimu.”
Aku tahu dia juga pasti kelelahan. Tetapi dia berhasil menyembunyikan itu di balik teduh tatapannya saat ini menyertai belaian lembut di pipiku.
“All I can think about is I have to take care of my wife first.”