Unexpected Reunion
Seungcheol short narration
•••
Untuk kesekian kali Sherina menyesali keputusannya. Sudah berkali-kali otak warasnya berkata bahwa tidak seharusnya dia menghadiri acara reuni ini, tapi egonya yang masih setinggi langit itu lebih memilih jalankan tantangan dari orang yang jelas-jelas masih membencinya.
Sekarang lihat dirinya yang menyedihkan ini. Menjadi objek tepat sasaran Alexa dan kawan-kawannya untuk menginjak-injak dirinya dengan berbagai gelagat hingga ucapan. Dan Sherina hanya bisa menggenggam erat gelas di tangannya.
“Bokap lo gimana kabarnya? Kalau nggak salah inget, dia divonis 15 tahun? Udah keluar?”
“Ya ampun, lo nggak bisa ngitung? Sepuluh tahun aja belum ada, udah lo tanyain aja keluar atau belum!”
“Ups, sorry! Abis rasanya udah lama banget. Kan, kayaknya itu heboh pas gue masih kuliah gitu. Pikirnya udah selesai.”
“Terus lo gimana, Sher? Bukannya dulu lo lagi kuliah di Inggris? Mandeg, dong?”
Oleh kesabarannya yang dia kais sedalam mungkin, Sherina tetap tersenyum dan terus mengangkat dagu. “Tetap lanjut, kok. Itu nggak bikin gue jadi putus kuliah. Lagipula waktu itu gue masih kebantu—”
“Yah, soalnya kan, Imperial College nggak main-main biayanya. Lo bisa masuk sana kan, berkat duit korupsi bokap lo. Masa lo nggak malu dan milih tetep lanjut?”
“Astaga, Nadira, nggak blak-blakan juga ngomongnya! Nanti Sherina tersinggung!”
Jarum ketabahan Sherina kembali turun dari angka tujuh ke angka lima.
“Maaf ya, Sher. Omongan kita jadi kelewatan gini,” ucap Alexa dengan raut memelas yang dibuat-buat. “Terus sekarang lo gimana? Waktu kita ketemu kemarin tuh, lo emang lagi kerja di sana?”
Tentu Sherina tidak lagi mengelak. Memangnya dia bisa menutupi itu setelah kemarin dia bertemu dengan Alexa masih dengan seragam pramuniaga bahkan berdiri di balik etalase menyambut kedatangan perempuan itu secara tidak terduga.
“Gue kira seenggaknya lo udah jadi manager di sana. Ternyata lo masih jadi pelayan, ya?” Alexa terkikik seakan itu hal lucu. “Tapi gue salut sama lo, Sher. Lo pasti udah kerja lama di situ. Lo profesional banget.”
“Thanks. Gue memang udah lama di situ karena gue senang jadi orang yang bisa langsung menjelaskan apa yang mau pelanggan tahu.”
Cukup sampai di sini Sherina bertahan. Meneguk minumannya dalam sekali tenggak, dia pun berencana memutus percakapan memuakkan ini ketika bahunya terdorong keras hingga sisa minumannya tumpah mengotori gaun peach-nya yang dia beli dengan harga diskonan dan tercetak jelas jejak basah berwarna ungu.
Sepertinya ini akan menjadi hari buruk terlebih mendengar tawa tak tertahankan dari gerombolan Alexa yang semakin menjatuhkan harga dirinya.
“Oh, gosh!”
Untuk kesekian kalinya, Sherina memaki di dalam hati karena sudah mengikuti egonya untuk datang kemari.
“I'm sorry. Gue nggak sengaja—”
Sudah cukup.
Sherina menepis kasar tangan yang hendak mengulurkan pertolongan. Tidak setelah dia terlanjur tercebur dalam kubangan lumpur memalukan. Maka yang dia lakukan selanjutnya adalah pergi dari sana tanpa sedikitpun sudi melihat si pelaku.
Dia hanya ingin pergi dari sini. Benar yang pernah diucapkan oleh otak warasnya bahwa dia memang sudah tidak pantas berada di lingkungan ini. Karena hidupnya memang sudah terjun dari lingkaran yang pernah membuatnya berada di puncak tertinggi kejayaan. Dan mungkin, inilah karma yang dia dapat atas apa yang sudah dia perbuat dulu.
Sentakan kuat di lengannya berhasil membuatnya menoleh. Lalu terpaku begitu mendapati pelaku yang hampir mendapat semburan amarahnya, membuatnya membeliak terpana.
“You almost soiled your dress again.”
Sherina tersadar bahwa dirinya hampir menabrak pelayan yang tengah membawakan nampan berisi banyak makanan. Tapi, Sherina tidak sanggup mengucapkan terima kasih. Tidak setelah pria ini berhasil melemparnya pada tumpukan memori yang seharusnya sudah dia lupakan karena sudah dua belas tahun berlalu....
“Maaf. Tadi beneran nggak sengaja. I was too busy to throwing jokes with friends until didn't notice my steps.” Dia lantas mengeluarkan sapu tangan untuk diberikan pada Sherina. “Aku akan gantiin dress kamu, kalau perlu.”
Saat itu juga akal sehat Sherina kembali berjalan. Berkata, “Nggak perlu,” yang harus dia rutuki lantaran ada getaran di baliknya. Dan Sherina harus pergi dari sana secepatnya.
“Sherina.”
Tapi sepertinya Sebastian tidak mengizinkannya melarikan diri. Apalagi pria itu tanpa lagi ragu meraih pergelangan tangannya, menahannya dalam cekalan lembut namun sudah cukup membuat benak Sherina berdesir takut.
“Lama nggak ketemu. Apa kabar?”
Takut bila Sebastian hanya ingin menjatuhkannya seperti yang lain. Atau mungkin lebih buruk dari yang pernah dia lakukan pada pria ini dulu....
—