What kind of Happy Ending do you want?
Wonwoo oneshot AU — Happy Ending
•••
“She still doesn't want to talk.”
Hanya dengan begitu, mampu mengusik keterdiaman Jeon Wonwoo yang sesungguhnya dia sendiri sudah tahu. Bahkan sebelum rekannya itu datang untuk mengajukan laporan tersebut.
Monolid tajamnya tak kunjung beralih dari layar demi layar komputer yang digelutinya sedari tadi. Menampilkan tiap sudut ruangan yang terus memantau sosok yang tengah dibicarakan. Duduk diam bak boneka yang teronggok diabaikan pemiliknya.
“Told you it won't work. You shouldn't saved her. She's just nothing.”
Barulah tatapan elang itu berpindah pada pria yang baru saja melontarkan lafal penuh sindiran. Bila kerlingan adalah senjata, mungkin Wonwoo sudah membunuh Kwon Soonyoung hanya dalam sekali sorot tembus tepat di kepala. Untungnya, hukum buana masihlah ramah pada insannya.
“But people looking for her. Making stupendous highlights everywhere to get all the public's eyes on her. ‘The Prime Minister's daughter who was kidnapped is now missing.’ Woah....”
Selorohan itu menginterupsi mengiringi sang pemilik suara meluncur dari sudut ruangan dengan kursinya. Demi menunjukkan seringai di bibir dengan little mole di atas sudut kanan.
“We are the most wanted in this country now. Isn't that cool?”
“Fugitive of state, you idiot,” tembak pria satu lagi yang langsung melempar pena dari tangan lentiknya. Mengenai si rambut pirang yang kontan terkekeh bak anak polos menanggapi omelannya.
Begitu pula dengan Wonwoo yang tak ingin menanggapi perdebatan para rekannya. Sehingga dia memutuskan keluar dari ruangan itu, diantar oleh tatapan Kwon Soonyoung yang kemudian mengedikkan bahu sebelum berbaur pada keributan Moon Junhui dan Lee Jihoon.
Kaki besarnya merajut langkah menuju ruangan sang tuan putri yang telah menjadi buah bibir di rumah ini, pun di luar sana dan dia sendiri tahu bila sedikit saja publik mengendus keberadaanya, habislah dia dan kawan-kawannya.
Satu hal yang sesungguhnya mengejutkan, bahwa sebelumnya Wonwoo tidak pernah tahu akan ada perkara lain di balik tugasnya di tempo lalu. Yaitu menemukan putri Perdana Menteri yang sebelumnya dikabarkan hendak dinikahkan, justru terkurung di mansion penyamun tua yang sudah mengotori hidupnya dengan tangisan hingga darah wanita.
Bagaimana bisa seorang putri pejabat terhormat negeri ini tersesat amat jauh? Sepertinya ada cerita menarik yang telah dia lewatkan.
“Your food is crying right now.”
Tidak ada reaksi berarti. Gadis itu masih bergeming di atas tempat tidurnya, memandang kosong ke luar jendela yang menampilkan langit siang kelabu sebagaimana dengan rupa tanpa warna di wajah ayunya. Nampan berisi semangkuk nasi beserta piring-piring kecil lauk dan sayur itu tampaknya hanya berakhir menjadi pajangan di atas meja di ujung brangkar itu.
Bahkan langkah kaki berat Wonwoo yang selalu membuat siapa saja waspada kala mendengarnya pun tak berhasil menarik perhatiannya. Menakjubkan.
“I don't have much patience as you think, Young Lady,” ujar Wonwoo menyertai satu tangannya memastikan laju infus yang terbenam di tangan perempuan itu masih bekerja baik. “I might throw you out of here if you won't talk. I don't collect dolls.”
Padahal suara beratnya merendah bak ancaman mengerikan. Namun menjadi hal menakjubkan berikutnya bahwa perempuan itu masih bertahan di posisinya.
Maka Wonwoo menggunakan siasat mendekat. Meraih pergelangan tangan yang sudah dibalut perban dengan rapi menutupi luka sayatan dalam yang perlu dia bubuhi beberapa jahitan. Di mana saat itu juga, sang puan menoleh hingga tatapan mereka beradu.
Banyak orang sudah mengakui betapa berbahayanya sorot mata Wonwoo yang selalu siap menerkam apa saja yang dipandangnya. Siapa akan mengira bahwa netra tak beratma itu mampu melawan tanpa adanya reaksi berarti?
“Aku tidak ingin pulang.”
Pelan layaknya embusan angin malam. Merasuk ke dalam naluri seorang Wonwoo yang sudah sekeras gunung es di Antartika.
“Jangan pulangkan aku.”
“Why?”
Baru Wonwoo sadari betapa halusnya suara perempuan ini setelah mendengar alunan miliknya menggema di penjuru ruang. Seakan dirinya pun mampu menenggelamkan kemerduan sang puan oleh dalam lantunannya.
“Tidak ada akhir bahagia di rumahku. Karenanya jangan pulangkan aku,” lirihnya nyaris tanpa laras. “Aku mohon.”
“What will I get if I grant your wish?”
Wonwoo dapat melihatnya. Bagaimana mata sayu itu sempat bergetar ragu sebelum menghindar. Beserta bibir kecil pucatnya yang mengatup keras sudah menjadi petunjuk bahwa sang puan tak punya jawaban yang dia ingin.
Tapi bukan kemarahan lantaran tak ada balasan seperti biasa dirasakan, Wonwoo semakin mendekat demi tangannya meraih helai rambut yang terurai menghalau pundak kecil itu, merasai kelembutannya sejenak sebelum terpaku pada netra hampa yang kembali hinggap padanya.
“There's no happy ending in here neither. Especially me.” Wonwoo dengan kehati-hatiannya, membawa sedikit surai itu ke balik telinga sang puan. “My hands are made for killing people. Not to give new life.”
“Kalau begitu bunuh saja aku.”
Jemari Wonwoo yang sempat terlena itu berhenti. Membiarkan sorot tajamnya meneliti kesungguhan atas tiap kata yang tak pernah ia duga akan didengar dari mulut perempuan ini.
“Aku lebih baik mati daripada harus kembali. Jadi tolong bunuh aku. Itu adalah akhir bahagiaku.”
Wonwoo tidak pernah percaya akan adanya akhir bahagia. Tidak selama kedua tangannya hanya membawa derita dan kematian bagi mereka yang sudah mengotori kisah fana ini.
“Bunuh aku ... Aku mohon....”
Tidak di saat dirinya sudah mengubur nurani agar tak pernah mengampuni mereka yang berusaha mengemis iba darinya.
“What if I don't want to?”
Tapi untuk pertama kalinya, Wonwoo mempertanyakan arti sebenarnya dari sebuah akhir bahagia.
Pertama kalinya, Wonwoo tidak ingin menggunakan tangan kejinya untuk mengabulkan permintaan perempuan itu.
“Tolong aku ... Aku tidak ingin menjadi siapapun....”
Dan untuk pertama kalinya, Wonwoo memutuskan mengambil peran agar tidak ada akhir bahagia yang didambakan oleh sang putri.