Your presence

Dokyeom short narration

from

The Hidden Prince

•••

Ada batasan tak kasat mata yang selalu menahanku untuk tidak bertindak semaunya di kastil ini.

Terlepas dari aku yang terlalu senang menata banyak hal atau membuat panik para pelayan karena aku terlalu bekerja keras, aku tahu bahwa lebih dari itu, aku tidak berhak untuk ikut campur dengan urusan yang jelas bukanlah ranahku.

Salah satunya adalah menanyakan soal pertemuan resmi hari ini di Istana Kensington yang sudah membuat Pangeran Arthur tampak marah begitu kembali pulang. Keterdiaman para pendampingnya menguarkan tegang sehingga aku sendiri kehilangan keberanian untuk menyambut kepulangannya.

Malam semakin larut dan kejadian tadi masih mengganggu pikiran hingga aku kesulitan memejamkan mata. Alhasil, aku membunuh kebosanan dengan berjalan mengitari taman di sisi gedung sayap kanan kastil.

“Sepertinya ada seseorang di sini?” kulemparkan pertanyaan pada Sir Felix—pelayan kastil yang ditugaskan untuk menjagaku selama di sini—lantaran mendapati ada beberapa penjaga bersiaga di taman ini.

“Nampaknya Yang Mulia Pangeran Arthur berada di sini, Tuan Putri.”

Aku tidak perlu terheran lagi dengan itu. Setiap orang di sini memiliki tugas masing-masing dan mereka saling tahu siapa atau apa yang tengah dikerjakan.

Benar saja, aku hanya bertanya pada satu penjaga dan ia segera mengantarku menuju gazebo taman di mana sosok yang sudah membuat mereka berjaga di sini tengah berada.

“Apa yang sedang Anda lakukan di sini sendirian?” sapaku seramah mungkin.

Mendapatinya langsung berdiri menyambutku dan wajah termenung yang sempat tertangkap pandanganku lekas tergantikan oleh senyum menawan.

“Dan mengapa kau keluar seorang diri di malam yang larut seperti ini?”

“Saya bersama Sir Felix. Dan maaf jika ini terdengar lancang, tetapi saya mengajukan pertanyaan terlebih dulu.”

Dia tidak tersinggung apalagi marah. Hanya ada kekehan lembut sebelum tangannya terulur ke hadapanku. “Let’s have a seat.

Aku menerimanya. Mengenyahkan reaksi berlebihan di benakku ketika dia menuntunku duduk di sebelahnya lalu menuangkan earl grey tea dengan sesendok kecil gula pada cangkir baru. Aku tidak akan menolak mengingat dia melakukannya dengan senang hati.

“Hanya mencari udara segar sebelum pergi tidur. Bagaimana denganmu?”

Dia menjawab setelah menyerahkan secangkir tehnya padaku. “Sama dengan Anda,” balasku lalu menyesapnya dengan khidmat. “Oh, taste good. Terima kasih untuk jamuannya, Yang Mu—maksudku..., Arthur.”

“Kau masih belum terbiasa padaku,” komentarnya yang seketika membuatku berdeham malu.

“Karena saya masih harus memposisikan diri sebagai orang di bawah Anda. Jadi rasanya masih begitu aneh saat harus memanggil Anda hanya dengan nama.”

“Tujuanmu berada di sini adalah beradaptasi dengan duniaku,” ujarnya lugas. “Should we hasten the wedding, then?

Jika sedang menyesap teh lagi, aku pasti sudah tersedak memalukan. Dia mendengus menyusul kekehan pelan seakan ekspresiku begitu lucu saat ini. Tapi aku tidak akan mengelak bila aku terlihat konyol sekarang.

It’s been a week since you settled here. Aku ingin mendengar kesanmu.”

“Soal kastilnya? Atau soal Anda?”

Both. But I want to hear about me first.

Agaknya kegugupanku naik satu level terlebih dia begitu intens menatapku. “Sejujurnya, saya tidak yakin mengenai penilaian saya soal Anda. Sebab hingga satu minggu berjalan, saya merasa belum mengenal Anda lebih banyak.”

Go ahead,” titahnya yang menyadari keraguanku.

“Terlalu banyak hal yang sekiranya membuat saya beberapa kali mundur. Saya masih mempertanyakan mengapa ini harus terjadi dan mengapa harus saya. Satu minggu mencoba membiasakan diri, tetap belum bisa membuat saya merasa layak berada di sini.”

Kuberanikan diri menumbuk tatapannya. Di mana jantungku berdegup lepas kendali sehingga aku bergegas kembali menunduk.

“Saya ingin mendengar jawaban Anda soal itu. Tentang alasan saya harus menikahi Anda dan mengapa Anda menyetujui rencana itu.”

“Satu minggu bukanlah waktu yang cukup untuk bisa membuatmu beradaptasi dengan semuanya dan aku memahami kebingunganmu. Karena itu tidak semua hal bisa langsung kau mengerti.”

Dia meneguk tehnya sejenak. Sementara aku sabar menunggu sekaligus menikmati embusan angin malam menyejukkan mengingat ini masih musim semi.

“Aku menyetujui pernikahan ini karena ingin memenuhi baktiku kepada mendiang Abraham Rodriguez, kakekku. Sebelum tiada, dia berwasiat agar putera muda Rodriguez dipertemukan dengan puteri muda Garcia demi mempererat hubungan yang sudah lama renggang sejak dirinya terbaring tak berdaya bertahun-tahun.”

“Saya sudah mendengar itu. Sebelumnya, saya ingin menyampaikan belasungkawa atas kepergian Yang Mulia Raja Abraham.”

Thank you for your kind words.

“Tapi apakah hanya sebatas itu? Maksud saya, tidakkah Anda merasa terbebani karena harus memenuhi wasiat yang sebenarnya bukan keinginan Anda sendiri?”

“Apa aku terlihat terbebani dengan itu?”

“Saya tidak bisa menjawab itu karena tidak mampu membaca pikiran Anda.”

Dia tersenyum sejenak sebelum bangkit dari duduk, mengamatinya yang mengedarkan pandangan pada temaram yang cukup memberi kesan menenangkan pada taman ini.

“Aku tidak punya alasan untuk menolak itu. Di sisi lain, aku memang butuh seseorang untuk bisa mendukungku menunjukkan diri nanti.”

“Maksud Anda?”

“Tidakkah kau ingin tahu mengapa presensiku tidak diketahui oleh masyarakat di luar sana?”

Tentu aku ingin tahu.

Sepanjang mempelajari silsilah keluarga Kerajaan Rodriguez, aku tidak banyak menemukan biografinya. Dia terlalu misterius untuk seorang keturunan monarki yang setiap saat menjadi sorotan rakyatnya. Hanya saudara tertuanya yang sering berlalu-lalang di media massa dan digadang-gadang menjadi pemimpin berikutnya untuk negara ini.

“Saya merasa tidak berhak untuk mencari tahu.”

“Kau berhak untuk tahu karena aku akan menjadi suamimu kelak.”

Tidak seharusnya perutku melilit aneh hanya karena mendengar kata itu muncul di ucapannya.

“Tapi pelan-pelan saja. Aku berjanji akan berbagi denganmu. Karena jika aku menceritakannya sekarang, kau tidak akan mendapatkan waktu istirahatmu.”

Senyum menawan itu kembali terpatri di bibirnya. Satu hal yang kusadari, sepanjang aku berkesempatan untuk melihat keluarga kerajaan secara langsung, mereka selalu membawa aura tak jauh berbeda; penuh wibawa, tegas namun lemah lembut.

Namun tidak dengannya.

Dia adalah pangeran dengan aura sehangat sinar mentari pagi, begitu teduh dan menentramkan. Aku bertaruh bila seluruh masyarakat melihatnya, mereka akan setuju padaku bahwa setiap gestur hingga senyumnya mampu membuat siapa saja terpana.

Tetapi juga menyimpan misteri yang terkadang membuatku bergidik tiap kali mencoba untuk menembusnya.

“Saya harap Anda sudah membaik dan bisa beristirahat malam ini,” terucap begitu saja yang membuat tatapannya sedikit berubah kebingungan. “Saya tidak sengaja melihat Anda pulang dalam keadaan keruh. Karena itu, saya berharap suasana hati Anda sudah lebih baik sekarang.”

“Kenapa tidak menghampiriku saat itu?”

“Saat itu saya merasa tidak pantas untuk menyapa Anda. Saya khawatir keberadaan saya justru akan memperburuk suasana hati—”

Who said your presence would make things worse for me?

Aku tergeragap berkat sanggahan cepatnya. Seperti ada nada kecewa di balik pertanyaan cepatnya sehingga aku lekas berdiri untuk meminta maaf dengan semestinya.

“Mohon maaf bila keputusan saya—”

No, Bella.

Satu langkah yang terlalu cepat mendekatkan jarak kami kembali. Menghenyakkanku dalam hati di mana lantas jantungku berdegup cepat berkat tatap matanya begitu tepat menghunjamku.

It wasn’t your fault so no need to apologize. I understand. I just—I just remembered that I missed you and hoped for your presence after a long tiring day so—

Dia terkekeh seakan itu adalah hal lucu. Di saat aku merasakan pipiku menghangat mendengar pengakuannya.

I hope you don’t hold back when you see me. I’d like to welcome you with pleasure no matter how the situation, Bella.

Suaranya yang merendah dan nyaris berbisik berhasil menyengatku hingga aku meremang. Terlebih keadaan kami yang tanpa kucermati bahwa tidak ada lagi satu langkah di antara kami sehingga aku harus menahan napas.

Apakah aku terlalu terpesona padanya sehingga tidak menyadari bahwa dia semakin mendekat kepadaku...?

“Saya harap Anda tidak menyesalinya bila saya sungguh melakukannya....”

I’m even looking forward to it.

Sesungguhnya tungkai kaki di balik gaun santaiku mulai gemetaran. Kalau diingat-ingat, ini merupakan kali pertama aku berada dalam jangkuan nyaris sejengkal bersamanya. Bahkan kala dia meraih tanganku untuk ia berikan kecupan ringan, aku tidak perlu membuatnya merangkak tinggi menuju bibirnya seperti sekarang ini.

Dia membiarkan tubuhnya tetap tegap berdiri, membayangiku yang hanya setinggi hidung bangirnya beserta obsidian kelamnya menyorotku teramat dalam bagai ingin menghisap seluruh kewarasanku.

“Anda harus lekas beristirahat mengingat ini sudah sangat larut malam.”

You don't want to know how much I'm holding back from touching you more than this right now, Bella.

Terkutuklah batinku yang mengumpat tanpa dapat kucegah. Terlebih selanjutnya aku berteriak di dalam hati yang justru menginginkan dia melakukannya.

“A-Arthur....”

Napasku tercekat. Bukan hanya karena suaraku yang nyaris menghilang, tetapi juga kuluman penuh arti yang mengembang di bibirnya yang begitu dekat dari biasanya.

Right. Just call my name like that, My Princess. That's enough to floats my boat.

Dasar gila. Sepertinya aku memang sudah kehilangan seluruh akal sehatku hanya dengan pujian kecilnya yang berhasil merasuk ke dalam nuraniku.

I hope you don't regret or even run away at the first second you become my wife soon, Bella.